About

Rabu, 21 November 2018

PEMBINAAN ADMINISTRASI DAN TEKNIS PEMUNGUTAN RETRIBUSI DAERAH


PEMBINAAN ADMINISTRASI DAN TEKNIS PEMUNGUTAN
  RETRIBUSI DAERAH 






ABSTRAK

Kurangnya koordinasi dalam pelaksanaan perumusan kebijakan sistem dan mekanisme program bidang pendapatan daerah dari retribusi daerah oleh pemungut dimungkinkan menjadi kendala utama terjadinya ketimpangan volume kebijakan antara pajak daerah dan retribusi. Permasalahan koordinasi ini mungkin dapat terpecahkan apabila masing-masing SKPD melaksanakan tugas dan fungsi sesuai yang telah ditetapkan.
Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan agar pelaksanaan pemungutan dapat berjalan dengan baik salah satunya adalah dengan pembinaan pemungutan retribusi. Pembinaan adalah kegiatan untuk memberikan pedoman bagi SKPD Pemungut Retribusi Daerah dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan baik administrasi maupun teknis dengan maksud agar pemungutan retribusi berdasarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing dilakukan secara benar dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


ABSTRACT

Lack of problems in the process of policy formulation and overcoming problems from retribution by voters is the main basis for the volume of taxes between regional taxes and levies. Perm may this problem be solved by each appropriate SKPD.
Forms of activities that can be carried out so that collection can be carried out properly, one of which is by fostering collection fees. Coaching is an activity to provide assistance to SKPD Collection of Regional Levy in planning, implementing and reporting both administration and technical with the functions used for these activities.

Keywords: Law, State Law, and Analysis of Regional Taxes and Retributions in Districts




PEMBINAAN ADMINISTRASI DAN TEKNIS PEMUNGUTAN
  RETRIBUSI DAERAH 


BAB I
PENDAHULUAN

A. KEBIJAKAN UMUM PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota dan Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dari ketentuan tersebut menunjukkan bahwa UUD 1945 memiliki semangat pemberlakuan asas desentralisasi dan otonomi daerah untuk memperkuat dan memberdayakan pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan cara memberikan hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945 tersebut juga ditentukan bahwa susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Dalam rangka mengimplementasikan ketentuan UUD 1945 tersebut, maka dibentuklah perangkat peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah untuk keduakalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Kebijakan Desentralisasi yang efektif dilaksanakan sejak tahun 2001 pada gilirannya akan meningkatkan kesempatan bagi Pemerintahan Daerah untuk memberikan alternatif pemecahan secara inovatif dalam menghadapi tantangan yang dihadapi. Pemerintah Daerah dituntut untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kualitas penyelenggaraan pelayanan publik serta meningkatkan kemandirian dalam melaksanakan pembangunan.
Desentralisasi dapat diartikan penyerahan atau pengakuan hak atas kewenangan untuk mengurus rumah tangga daerah sendiri, dalam hal ini daerah diberi kesempatan untuk melakukan suatu kebijakan sendiri. Pengakuan tersebut merupakan suatu bentuk partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan yang merupakan ciri dari negara demokrasi. Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan pada level bawah pada suatu organisasi . Ten Berge mengartikan desentralisasi sebagai suatu penyerahan atau pengakuan hak (mengenai keadaan yang telah dinyatakan) atas kewenangan untuk pengaturan dan pemerintahan dan badan–badan hukum publik yang rendahan atau organ–organ dalam hal mana ini diberi kesempatan untuk melakukan suatu kebijaksanaan sendiri. Istilah otonomi lebih cenderung pada Political Aspect (aspek politik–kekuasaan negara), sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada administrative aspect (aspek administrasi negara). Namun jika dilihat dari konteks pembagian kewenangan dalam prakteknya, kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Artinya jika berbicara mengenai otonomi daerah tentu akan menyangkut pertanyaan seberapa wewenang yang akan diberikan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, demikian sebaliknya.
Pembagian kewenangan secara vertikal yang melahirkan daerah otonom tersebut tentunya tidak lepas sebagai sarana untuk mempermudah atau mempercepat terwujudnya kesejahteraan. Menurut beberapa pendapat, pembentukan daerah otonom bertujuan :
1. Mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah– masalah kecil pada tingkat lokal serta memberikan peluang untuk koordinasi pada tingkat lokal;
2. Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada tingkat lokal, dapat merasakan keuntungan dari kontribusi kegiatan mereka itu;
3. Penyusunan Program – program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal sehingga lebih realistis;
4. Melatih rakyat untuk bisa mengatur urusannya sendiri (Self Goverment);
5. Pembinaan Kesatuan Nasional.
Ada juga yang berpendapat bahwa pembentukan daerah otonom juga didasarkan adanya kemungkinan  :
1. Pemanfaatan sebesar – besarnya potensi daerah sendiri;
2. Untuk memusatkan masyarakat didaerah–daerah karena aspirasi dan kehendaknya terpenuhi;
3. Masyarakat setempat lebih banyak ikut serta didalam memikirkan masalah – masalah pemerintahan, jadi lebih cocok dengan susunan pemerintahan yang demokratis;
4. Pembangunan didaerah–daerah akan lebih pesat, karena tiap tiap daerah akan berusaha untuk menciptakan kebanggaannya sendiri.
Berdasarkan pendapat tersebut nampak bahwa otonomi daerah sangat berkaitan dengan demokrasi, kesejahteraan rakyat, efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam usaha untuk mewujudkan tujuan Negara, desentralisasi sebagaimana yang diatur dalam Undang–undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia; bahwa efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek–aspek hubungan antar susunan pemeritahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanegkaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas–luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi darah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah .
Untuk merealisasikan pelaksanaan Otonomi Daerah maka sumber pembiayaan pemerintah daerah tergantung pada peranan PAD.  Hal ini diharapkan dan diupayakan dapat menjadi penyangga utama dalam membiayai kegiatan pembangunan di daerah. Oleh karena itu Pemerintah daerah harus dapat mengupayakan peningkatan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri sehingga akan memperbesar tersedianya keuangan daerah yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan.  Dengan ini akan semakin memperbesar keleluasaan daerah untuk mengarahkan penggunaan keuangan daerah sesuai dengan rencana, skala prioritas dan kebutuhan daerah yang bersangkutan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta melaksanakan pembangunan daerah, maka daerah membutuhkan sumber-sumber penerimaan yang cukup memadai.  Sumber-sumber penerimaan daerah ini dapat berasal dari bantuan dan sumbangan pemerintah pusat maupun penerimaan yang berasal dari daerah sendiri.  Namun, perlu digarisbawahi bahwa tidak semua daerah memiliki kekayaan alam.  Hal ini tentu akan membuat daerah yang kaya akan potensi daerah yang dimiliki akan semakin maju yang mana tentunya bertolak belakang bagi daerah yang memiliki potensi yang kurang.  Kiranya dengan asas ini pemerintah perlu memberikan jalan keluar agar seluruh daerah yang ada di Indonesia berkembang secara merata.
Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah disebutkan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak. Pendapatan Asli Daerah sendiri terdiri dari :
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah
c. Hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan
d. Lain-lain PAD yang sah.
Pendapatan Asli Daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah mempunyai peranan penting dalam pembangunan.  Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah dimana peranan PAD diharapkan dan diupayakan dapat menjadi penyangga utama dalam membiayai kegiatan pembangunan di daerah.  Oleh karena itu pemerintah daerah harus dapat mengupayakan peningkatan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri.  Dengan demikian akan memperbesar tersedianya keuangan daerah yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan yang bersifat mandiri.
Dalam rangka mengupayakan peningkatan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri diperlukan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah yang harus dilaksanakan dengan berpedoman pada prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah
Kebijakan pemerintah daerah dalam mengatur pajak dan retribusi daerah dengan berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang dianggap perlu disesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah.
Tujuan diberlakukannya Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam penyusunan UU ini, yaitu:
1. Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional.
2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-undang (Closed-List).
3. Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang-undang.
4. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah.
5. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi.

B. PENGATURAN DI DAERAH
Kabupaten Gresik tentunya memerlukan dana yang cukup besar dalam menyelenggarakan kegiatan pembangunan daerah di berbagai sektor. Dana pembangunan tersebut diusahakan oleh pemerintah daerah yang salah satunya bersumber dari penerimaan pemerintah daerah Kabupaten Gresik sendiri. Sumber pembiayaan kebutuhan pemerintah yang mana biasa dikenal dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berasal dari pengolahan sumber daya yang dimiliki daerah disamping penerimaan dari pemerintah propinsi, pemerintah pusat serta penerimaan daerah yang sah lainnya.  Sejalan dengan upaya untuk mengingkatkan serta menggali sumber-sumber penerimaan daerah, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik berusaha secara aktif untuk meningkatkan serta menggali sumber-sumber penerimaan daerah terutama penerimaan yang berasal dari daerah sendiri.  Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam pembiayaan pembangunan daerah.
Kemampuan keuangan daerah  dalam membiayai kegiatan pembangunan didaerah merupakan pencerminan dari pelaksanaan otonomi di daerah. Upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah tentunya tidak terlepas dari peranan masing-masing komponen Pendapatan Asli Daerah.  Komponen yang ada seperti penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba perusahaan milik daerah, penerimaan dinas-dinas serta penerimaan daerah lainnya yang sah.  Ini merupakan beberapa komponen yang menjadi sumber penerimaan daerah dimana tentunya akan terus digali baik yang sudah ada maupun sumber penerimaan baru yang potensial.
Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berdasarkan Pasal 95 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (1), ditentukan bahwa Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Berdasarkan Pasal tersebut, telah ditindaklajuti dengan pengaturan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Gresik yang terdiri dari :
1. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 2 tahun 2011 tentang Pajak Daerah;
2. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 4 tahun 2011 tentang retribusi Jasa Umum;
3. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 5 tahun 2011 tentang retribusi Perijinan Tertentu;
4. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 6 tahun 2011 tentang retribusi Jasa Usaha;
5. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 7 tahun 2011 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan; dan
6. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 31 tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Berupa Rumah Susun Sederhana Sewa.

   1. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 2 tahun 2011 tentang Pajak Daerah
Dengan diberlakukannya Peraturan Daerah ini, kemampuan Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran semakin besar karena Daerah dapat dengan mudah menyeseuaikan pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dalam penetapan tarip. Dipihak lain, dengan tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan jenis pajak daerah baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Daerah diberikan kewenangan untuk memungut dari 11 (sebelas) jenis pajak daerah kabupaten/ kota akan tetapi yang dimuat dalam perda ini ada 10 (sepuluh) jenis pajak daerah sedangkan 1 (satu) jenis pajak bumi dan bangunan dengan Peraturan Daerah  tersendiri.
Ruang lingkup Pajak Daerah yang diatur dalam Peraturan Daerah ini meliputi :
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

   2.   Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 4 tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum.

Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Retribusi Jasa Umum meliputi retribusi yang dikenakan atas jasa umum, yaitu pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
Jenis Retribusi Jasa Umum yang diatur dalam Peraturan Daerah ini adalah :
a. Retribusi Pelayanan Kesehatan;
b. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
c. Retribusi Retribusi Dokumen Kependudukan dan Akta Catatan Sipil;
d. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
e. Retribusi Pelayanan Pasar;
f. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
g. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.
Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Subjek Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan. Wajib Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Jasa Umum

 2.1. Retribusi Pelayanan Kesehatan
Retribusi pelayanan kesehatan dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas pelayanan kesehatan yang diberikan di Puskesmas beserta jaringannya dan pelayanan yang diberikan di Laboratorium Kesehatan Daerah.
Jenis pelayanan yang diberikan di Puskesmas :
a. Pelayanan Rawat Darurat ;
b. Pelayanan Rawat Jalan ;
c. Pelayanan Rawat Inap ;
d. Pelayanan Tindakan Medik ;
e. Pelayanan Gigi dan Mulut ;
f. Pelayanan Kebidanan dan Penyakit Kandungan ;
g. Pelayanan Penunjang Medik (laboratorium klinik dan radiologi) ;
h. Pelayanan Medico Legal ;
i. Pelayanan Pembakaran Sampah Medis
j. Pelayanan Pemulasaraan Jenazah ;
k. Pelayanan mobil Puskesmas Keliling.
Jenis Pelayanan yang diberikan di Laboratorium Kesehatan Daerah :
a. Pelayanan Pemeriksaan Laboratorium Kesehatan Masyarakat/ Lingkungan
b. Pelayanan Pemeriksaan Laboratorium Klinik
Tingkat penggunaan jasa dihitung berdasarkan jenis pelayanan, pamakaian alat dan frekuensi berdasarkan retribusi pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas beserta jaringannya dan di Laboratorium Kesehatan Daerah.
Prinsip dalam penetapan retribusi pelayanan kesehatan didasarkan pada biaya penyediaan jasa sarana dan jasa pelayanan dengan memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat dan fungsi pelayanan pemerintah kepada masyarakat.

2.2. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan.
Objek Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan adalah pelayanan persampahan/ kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah atas setiap persil di Kabupaten Gresik yang meliputi:
a. pengumpulan/pengangkutan sampah dari Tempat Pemprosesan Sementara ke Tempat Pemprosesan Akhir;
b. pengolahan/pemrosesan sampah di tempat Pemprosesan Akhir
c. penyediaan lokasi pemrosesan akhir sampah
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan golongan pelanggan, Volume sampah dan jenis pelayanan. Prinsip dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi didasarkan atas tujuan untuk mengganti biaya penyelenggaraan pelayanan persampahan/kebersihan meliputi :
a. biaya pengumpulan sampah,
b. biaya pengangkutan sampah;
c. biaya pemusnahan / pengolahan sampah;
d. biaya penyedian lokasi tempat pemrosesan sampah;
e. biaya penyediaan fasilitas persampahan/kebersihan;
f. biaya administrasi yang mendukung penyediaan pelayanan persampahan/ kebersihan

2.3. Retribusi Dokumen Kependudukan Dan Akta Catatan Sipil
Objek Retribusi Dokumen Kependudukan dan Akta Catatan Sipil adalah pelayanan penerbitan dokumen kependudukan yaitu :
a. kartu tanda penduduk;
b. kartu keterangan bertempat tinggal;
c. kartu identitas kerja;
d. kartu penduduk sementara;
e. kartu identitas penduduk musiman; dan
f. kartu keluarga.
dan Akta Catatan Sipil yaitu |:
a. akta perkawinan ;
b. akta perceraian;
c. akta pengesahan dan pengakuan anak;
d. akta ganti nama bagi warga negara asing; dan
e. akta kematian.
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jumlah kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen kependudukan dan catatan sipil berdasarkan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Prinsip penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi adalah untuk mengganti biaya pencetakan dan pengadministrasian dalam penerbitan dokumen kependudukan dan pencatatan sipil.

2.4. Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum
Objek Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum adalah penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Besarnya retribusi yang terhutang oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa tertentu dihitung dengan cara mengalikan tarif retribusi dengan tingkat penggunaan jasa. Tingkat penggunaan Jasa diukur berdasarkan frekuensi penggunaan Tempat, jenis waktu dan lokasi yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi didasarkan atas tujuan untuk mengendalikan permintaan dan penggunaan jasa layanan dalam rangka memperlancar lalu lintas jalan dengan tetap memperhatikan biaya penyelenggaraan pelayanan dan sebagai pengganti penyediaan marka dan rambu-rambu parkir, biaya operasional dan pemeliharaan bangunan saran dan prasarana tempat khusus parkir serta biaya transportasi dalam rangka pengawasan dan pengendalian.

2.5. Retribusi Pelayanan Pasar
 Objek Retribusi Pelayanan Pasar adalah penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana, berupa pelataran, los, kios yang dikelola Pemerintah Daerah, dan khusus disediakan untuk pedagang. Dikecualikan dari objek Retribusi adalah pelayanan fasilitas pasar yang dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
Cara mengukur tingkat penggunaan jasa dihitung berdasarkan tingkat pelayanan yang diberikan terhadap penyediaan fasilitas pasar sesuai klasifikasi pasar dan masa retribusinya.  Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Pelayanan Pasar ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan Pelayanan Pasar yang meliputi biaya operasi dan pemeliharaan dan biaya modal serta dengan mempertimbangkan aspek lokasi, jenis, luas tempat usaha dan kemampuan masyarakat. Struktur dan besarnya tarif Retribusi Pelayanan Pasar ditetapkan berdasar klasifikasi kelas pasar, luas dan jangka waktu pemakaian.

2.6. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
Objek Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor adalah pelayanan pengujian kendaraan bermotor, termasuk kendaraan bermotor di air, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
Cara mengukur tingkat penggunaan jasa pengujian kendaraan bermotor diukur berdasarkan jenis, berat, dan tahun pembuatan kendaraan. Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan yang didasarkan pada tujuan untuk memastikan kondisi sesuai persyaratan teknis dan laik jalan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku

2.7. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
Objek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum.
Cara mengukur tingkat penggunaan jasa dihitung berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tanah dan bangunan menara yang bersangkutan. Prinsip dan sasaran yang dipakai dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi didasarkan pada kemanfaatan bangunan menara telekomunikasi yang menggunakan fasilitas tata ruang wilayah dengan memperhatikan aspek pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi.

3. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 5 tahun 2011 tentang retribusi Perijinan Tertentu
Dengan mengingat fungsi utama jasa perizinan dimaksudkan untuk mengadakan pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan, maka pada dasarnya pemberian izin oleh Pemerintah Daerah adalah untuk melindungi kepentingan dan ketertiban umum dan tidak harus dipungut retribusi. Namun demikian karena untuk melaksanakan fungsi tersebut Pemerintah Daerah memerlukan biaya yang tidak selalu dapat dicukupi dari sumber-sumber penerimaan daerah yang sifatnya umum, maka terhadap perizinan tertentu dapat dipungut retribusi untuk menutupi seluruh atau sebagian biaya pemberian izin tersebut.
 Sedang dari sisi masyarakat, tujuan pemberian izin itu adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum terhadap usaha yang dijalankannya. Selain itu juga untuk menjamin adanya kepastian hak yang seharusnya didapat dengan perizinan tersebut yang berarti juga kejelasan mengenai batasan – batasan, kewajiban maupun sanksi yang mengikutinya.
Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Retribusi Perizinan Tertentu meliputi retribusi yang dikenakan kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan, Jenis Retribusi Perzinan Tertentu yang diatur dalam Peraturan Daerah ini adalah :
a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
b. Retribusi Izin Gangguan;
c. Retribusi Izin Trayek; dan
d. Retribusi Izin Usaha Perikanan.

3.1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
Objek Retribusi Izin Mendirikan Bangunan adalah pemberian izin untuk mendirikan suatu bangunan. Yang bukan  termasuk dalam Obyek IMB meliputi antara lain  :
Obyek – obyek tertentu milik Pemerintah yang karena sifatnya tidak memerlukan IMB.
Tambahan bangunan tidak lebih dari 10 % atau maksimal seluas 50 m2 dari luas bangunan yang dizinkan dalam IMB.
Pekerjaan perbaikan dan perawatan sederhana.
Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi didasarkan pada tujuan untuk menutup semua atau sebagian biaya penyelenggaraan perizinan, Perhitungan Besarnya Retribusi IMB didasarkan pada Jenis Retribusi IMB, Tingkat penggunaan Jasa.
  
3.2. Retribusi Izin Gangguan
Obyek retribusi izin gangguan adalah pemberian izin  mendirikan dan/atau memperluas  tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau Badan yang dapat menimbulkan ancaman bahaya, kerugian dan/atau gangguan, termasuk pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja.
Pengecualian dari  obyek retribusi ini adalah :
· kegiatan yang berlokasi di dalam Kawasan Industri, Kawasan Berikat, dan Kawasan Ekonomi Khusus ;
· kegiatan yang berada di dalam bangunan atau lingkungan yang telah memiliki izin gangguan ;
· usaha mikro dan kecil yang kegiatan usahanya di dalam bangunan atau persil yang dampak kegiatan usahanya tidak keluar dari bangunan atau persil ; atau
· tempat usaha/kegiatan yang telah ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Tingkat penggunaan jasa dihitung berdasarkan perkalian antara persentase tertentu dari nilai investasi usaha dan indeks kriteria gangguan.Kriteria gangguan tersebut didasarkan kriteria lingkungan, meliputi gangguan terhadap fungsi tanah, air tanah, sungai, laut, udara dan gangguan yang bersumber dari getaran dan/atau kebisingan, termasuk dampak yang ditimbulkan.
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif dan struktur retribusi izin Gangguan didasarkan pada tujuan untuk menutup biaya penyelenggaraan pemberian izin. meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin ;

3.3. Retribusi Izin Trayek
Obyek retribusi Izin Trayek adalah pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan untuk menyediakan pelayanan angkutan penumpang umum pada suatu atau beberapa trayek tertentu.
Tingkat penggunaan jasa ijin trayek diukur berdasarkan klasifikasi, jumlah, jenis dan jangka waktu.
Prinsip dalam penetapan struktur dan besarnya tarip retribusi ijin trayek adalah untuk menutup biaya survey, biaya administrasi, biaya pengaturan, biaya pengendalian dan biaya pengawasan.

3.4. Retribusi Izin Usaha Perikanan.
Objek Retribusi Izin Usaha Perikanan adalah pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan untuk melakukan kegiatan usaha perikanan.
1. Usaha perikanan meliputi :
a. Usaha penangkapan Ikan ;
b. Usaha pembudidayaan ikan ;
c. Usaha Pengolahan hasil perikanan dan
d. Usaha pengangkutan Ikan.
2. Usaha penangkapan Ikan dengan menggunakan sarana antara lain :
a. Perahu tanpa bermotor ;
b. Perahu/kapal bermotor luar  ;
c. Perahu/kapal bermotor dalam.
3. Usaha pembudidayaan ikan meliputi :
a. Pembudidayaan ikan air tawar ;
b. Pembudidayaan ikan diair payau; dan/atau ;
c. Pembudidayaan ikan dilaut.

Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis usaha perikanan yang dilaksanakan. Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tariff retribusi didasarkan pada tujuan untuk menutup semua atau sebagian biaya penyelenggaraan perizinan. Biaya tersebut meliputi biaya administrative, jasa pelayanan, pembinaan dan pengawasan. Sedangkan struktur dan besarnya tarif retribusi digolongkan berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan terhadap pelaksanaan Usaha perikanan.

 4. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 6 tahun 2011 tentang retribusi Jasa Usaha.
Jenis-jenis obyek Retribusi Jasa Usaha yang ditetapkan dan dapat dipungut oleh Pemerintah Kabupaten Gresik dalam upaya menghimpun dana guna meningkatkan kualitas maupun kuantitas pembangunan daerah saat ini terdiri atas delapan jenis Obyek retribusi, antara lain :
Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Retribusi Jasa Usaha meliputi retribusi yang dikenakan atas jasa usaha, yaitu pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi:
a. pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan/atau
b. pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.
Jenis Retribusi Jasa Usaha yang diatur dalam Peraturan Daerah ini adalah :
a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
b. Retribusi Tempat Pelelangan Ikan;
c. Retribusi Terminal;
d. Retribusi Tempat Khusus Parkir;
e. Retribusi Rumah Potong Hewan;
f. Retribusi Jasa Kepebuhanan
g. Retribusi Tempat Pariwisata;
h.   Retribusi Tempat Penyeberangan di Air
Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah atas jasa usaha untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Subjek Retribusi Jasa usaha adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa usaha  yang bersangkutan. Wajib Retribusi Jasa usaha adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Jasa Usaha.
4.1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
Objek Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah adalah pelayanan pemberian hak pemakaian kekayaan Daerah untuk jangka waktu tertentu yang meliputi :
a. pemakaian tanah;
b. pemakaian bangunan (gedung rumah dinas, gedung olah raga, Gedung pertemuan);
c. tempat olah raga (Lapangan);
d. laboratorium;
e. kendaraan;
f. alat-alat berat dan
g. saluran
h. Kekayaan Daerah lainnya.
 Dikecualikan dari pengertian pemakaian kekayaan Daerah sebagaimana dimaksud diatas adalah penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut.
Tingkat Penggunaan jasa dihitung berdasarkan jenis, jangka waktu dan luas klasifikasi parameter pemakaian kekayaan Daerah. Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi pemakaian kekayaan Daerah didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha sejenis yang beroperasi secara professional dan berorientasi pada harga pasar dengan memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat dan fungsi pelayanan pemerintah kepada masyarakat.

4.2. Retribusi Tempat Pelelangan Ikan
Objek Retribusi Tempat Pelelangan ikan adalah penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan. Termasuk objek Retribusi tempat pelelangan ikan adalah tempat yang dikontrak oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan. Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana diatas adalah tempat pelelangan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
Besarnya retribusi yang terhutang oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa tempat pelelangan ikan dihitung dengan cara mengalikan tarif retribusi dengan tingkat penggunaan jasa. Tingkat penggunaan Jasa diukur berdasarkan  prosentase dan nilai harga jual ikan hasil lelang pada waktu pelelangan. Prinsip penetapan tarif Retribusi Tempat Pelelangan Ikan adalah untuk mengganti jasa pelayanan, pemeliharaan sarana dan prasarana serta pembinaan pengawasan.

4.3. Retribusi Terminal
Objek Retribusi Terminal adalah pelayanan penyediaan tempat parkir untuk kendaraan penumpang dan bis umum, tempat kegiatan usaha, dan fasilitas lainnya di lingkungan terminal, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Dikecualikan dari objek Retribusi terminal adalah terminal yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
Tingkat penggunaan jasa dihitung berdasarkan frekuensi dan jangka waktu pemakaian fasilitas terminal. Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha sejenis yang beroperasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. Tarif retribusi digolongkan berdasarkan jenis fasilitas, jenis kendaraan dan jangka waktu pemakaian;

4.4. Retribusi Tempat Khusus Parkir
Objek Retribusi Tempat Khusus Parkir adalah pelayanan tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Dikecualikan dari objek Retribusi Tempat Khusus Parkir adalah pelayanan tempat parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
Besarnya retribusi yang terhutang oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa atau perijinan tertentu dihitung dengan cara mengalikan tarif retribusi dengan tingkat penggunaan jasa. Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan frekuensi penggunaan tempat, jenis kendaraan, dan jangka waktu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi didasarkan dengan memperhatikan biaya penyelenggaraan pelayanan, sebagai pengganti penyediaan marka dan rambu-rambu parkir, biaya operasional dan pemeliharaan bangunan sarana dan prasarana tempat khusus parkir serta pengawasan dan pengendalian.

4.5. Retribusi Rumah Potong Hewan
Objek Retribusi Rumah Potong Hewan adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak yang meliputi:
a. Penyewaan kandang (karantina);
b. Pemeriksaan Kesehatan Hewan sebelum dipotong;
c. Penyembelihan ternak secara Islam
d. Pemakaian tempat pemotongan;
e. Pemeriksaan daging setelah dipotong
f. Pemeriksaan kesehatan hewan diluar rumah potong hewan
g. Pemeriksaan daging dari luar Kecamatan Gresik dan Kebomas dan dari luar Kabupaten Gresik dengan ketentuan Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).
Dikecualikan dari objek Retribusi Retribusi Rumah Potong Hewan adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis pelayanan dan jenis serta jumlah hewan/ternak yang akan dipotong. Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi didasarkan pada tujuan untuk distribusi pangan yang baik dan aman dengan memperhatikan mutu gizi pangan serta untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh Pengusaha sejenis yang beroperasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. Struktur tarif digolongkan berdasarkan jenis pelayanan, jenis dan jumlah ternak. Besarnya tarip ditetapkan berdasarkan tarif pasar yang berlaku di wilayah Daerah.

4.6. Retribusi Jasa Kepelabuhanan
Objek Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan adalah pelayanan jasa kepelabuhanan, termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa kepelabuhanan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
Pelayanan Kepelabuhanan sebagaimana dimaksud diatas antara lain :

a. Pelayanan labuh

b. Pelayanan pemanduan untuk kapal angkutan laut dalam negeri dan luar negeri

c. Penumpang dan barang angkutan penyeberangan Gresik – Bawean

d. Pelayanan penundaan untuk kapal angkutan laut dalam negeri di perairan wajib pandu
e. Pelayanan penundaan untuk kapal angkutan laut luar negeri di perairan wajib pandu

f. Pelayanan penundaan kapal angkutan laut dalam negeri di luar  batas  perairan Kabupaten Gresik dan emergency

g. Pelayanan penundaan  kapal angkutan laut luar negeri  di luar  batas  perairan  kabupaten Gresik dan emergency
h. Pelayanan kepelabuhan lainnya 
Cara mengukur tingkat penggunaan jasa dihitung dengan ketentuan rincian sebagai berikut :
a. Tingkat Penggunaan Jasa Labuh, diukur berdasarkan ukuran GT (Gross Tone) kapal dan lama kunjungan kapal dalam kelipatan 10 (sepuluh) hari dikalikan tarif jasa labuh.
b. Tingkat Penggunaan Jasa Tunda, diukur berdasarkan jumlah pergerakan kapal yang ditunda (sandar/lepas sandar ) dikalikan lama jam pemakaian kapal tunda dikalikan penjumlahan antara tarif tetap dan perkalian antara GT kapal dan tarif variabel atau Besaran jasa tunda =  2 ( gerakan sandar/lepas sandar ) X lama jam pemakaian kapal tunda X [ Tarif tetap + ( GT kapal X Tarif Variabel ) ]
c. Tingkat Penggunaan Jasa Pandu, diukur berdasarkan jumlah pergerakan kapal yang dipandu ( sandar/lepas sandar ) dikalikan jam pemanduan dikalikan  penjumlahan antara tarif tetap ditambah perkalian antara tarif tambahan dan GT kapal yang dipandu. Atau Besaran Jasa Pandu  =  2 (gerakan kapal sandar dan lepas sandar) X [tarif  tetap +  (GT kapal X tarif tambahan ) ]
d. Tingkat Penggunaan Sewa Perairan, Sewa Tanah hasil Reklamasi pantai/perairan diukur berdasarkan luas per m2  per tahun atas penggunaan perairan atau tanah hasil reklamasi pantai.
e. Tingkat Penggunaan Pas Pelabuhan diukur berdasarkan jumlah penumpang atau jumlah tenaga kerja bongkar muat, ton atau M3 barang, dan jumlah kendaraan roda 4 atau roda 2.
f. Tingkat Penggunaan pelayanan kepelabuhanan lainnya diukur berdasarkan jumlah permohonan.
Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi adalah untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagai pengganti investasi, biaya perawatan/pemeliharaan, biaya penyusutan, biaya asuransi, biaya angsuran pinjaman, biaya rutin/periodik yang berkaitan langsung dengan penyediaan jasa, biaya administrasi umum yang mendukung penyediaan jasa, menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan


4.7. Retribusi Tempat Pariwisata
Objek Retribusi Tempat Pariwisata adalah pemanfaatan pelayanan tempat pariwisata yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Tempat pariwisata yang diatur dalam Peraturan Daerah ini adalah :
a. Kawasan wisata Makam Sunan Giri, meliputi; Makam Sunan Prapen, Patilasan Kedaton Giri yang berada di desa Giri, Klangon dan Sidomukti;
b. Kawasan wisata Makam Maulana Malik Ibrahim yang meliputi; Makam Malik Ibrahim, Makam Pusponegoro, Makam Raden Santri, Makam Nyi Ageng Pinatih yang berada di desa Gapuro Sukolilo kelurahan Bedilan dan Kebungson;
c. Kawasan Wisata Siti fatimah Binti Maimun yang meliputi Situs Leran termasuk fasilitas penunjang Kepariwisataan yang berada di Desa Leran.
d. Kawasan Wisata Bahari Pantai Delegan
e. Kawasan Wisata Gunung Surowiti
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan tempat pariwisata  yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
Cara mengukur tingkat penggunaan jasa dihitung berdasarkan frekuensi menikmati pelayanan. Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi adalah untuk pengganti biaya operasional, pemeliharaan bangunan, sarana, prasarana, dalam rangka pengawasan pengendalian dengan memperhatikan tingkat kemampuan masyarakat



4.8. Retribusi Penyeberangan Di Air
Objek Retribusi Penyeberangan di Air adalah pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di sungai yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah
Cara mengukur tingkat penggunaan jasa dihitung berdasarkan jenis, ukuran, dan berat pengguna pelayanan penyeberangan di sungai. Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Penyeberangan di sungai ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan Pelayanan yang meliputi biaya penyediaan alat, biaya operasional, pemeliharaan dan biaya modal  dengan mempertimbangkan harga pasar dan kemampuan masyarakat.

5. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 7 tahun 2011 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan
Jika fungsi pajak negara adalah fungsi penerimaan atau budgeter, fungsi regulasi dan fungsi stabilisasi. Sejak awal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menjadi salah satu penerimaan daerah, karena meskipun PBB menjadi salah satu penerimaan pajak pusat, namun sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah. Pada APBD penerimaan PBB tersebut selama ini dimasukkan kedalam komponen dana perimbangan pada rekening bagi hasil pajak.
Pemungutan PBB diatur dengan Undang–undang Nomor 12 tahun 1994 yang merupakan penyempurnaan Undang–undang Nomor 12 tahun 1985. Menurut Undang–undang tersebut objek PBB dibagi atas 5 (lima) sektor, yaitu :
1. Perdesaan
2. Perkotaan
3. Pertambangan
4. Kehutanan, dan
5. Perkebunan
Dengan diberlakukannya Undang–undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PBB Perdesaan dan Perkotaan atau disingkat PBB P2 diserahkan pengelolaan pemungutannya kepada Kabupaten/Kota untuk menjadi Pajak Daerah. Undang–Undang tersebut mengatur bahwa pemungutan PBB P2 tersebut harus sudah dilaksanakan oleh daerah selambat–lambatnya 31 Desember 2013. sepanjang belum ada Peraturan Daerah tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan.
Pengalihan wewenang pemungutan PBB P2 ini merupakan peluang bagi daerah, karena akan meningkatkan penerimaan Pajak Daerah. Namun perlu diketahui bahwa PBB P2 termasuk jenis pajak yang tidak sederhana dalam pengadministrasiannya serta mempunyai efisiensi pemungutan yang rendah. Oleh karena itu Daerah perlu mempersiapkan dengan sebaik–baiknya, karena apabila tidak dipersiapkan dengan baik dari tatanan administrasi maupun pelaksanaannya bisa berdampak negatif yakni terjadinya penurunan penerimaan.
PBB P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan. Yang dimaksud dengan pengertian bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Sementara pengertian bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
Subjek PBB P2 adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau bangunan, memperoleh manfaat atas bumi dan/atau bangunan. Wajib Pajak PBB P2 adalah Subjek Pajak PBB P2 yang dikenai kewajiban untuk membayar pajak. Objek PBB P2 yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
1. Jalan lingkungan yang terletak dalam satu komplek bangunan seperti hotel, pabrik dan emplasemennya yang merupakan satu kesatuan dengan komplek bangunan tersebut.
2. Jalan tol
3. Kolam renang
4. Pagar mewah
5. Tempat oleh raga
6. Galangan kapal, dermaga
7. Taman mewah
8. Tempat penampungan atau kilang minyak, air dan gas, pipa minyak dan
9. Menara
Ada beberapa objek pajak yang tidak dikenakan PBB P2 yang terdiri dari objek pajak yang:
1. Digunakan oleh pemerintah dan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan
2. Digunakan semata–mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
3. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu
4. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
5. Digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik dan
6. Digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan
Dasar pengenaan PBB P2 adalah Nilai Jual Objek Pajak atau biasa disingkat NJOP.  Besarnya NJOP ditetapkan setiap 3 tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah. Penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh Kepala Daerah. Selain itu pengenaan pajak juga didasarkan pada NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Berdasarkan Pasal 77 ayat (4) Undang–undang Nomor 28 tahun 2009 ditetapkan besarnya NJOPTKP sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Hal tersebut mengandung makna bahwa apabila  seorang wajib pajak memiliki beberapa objek pajak yang nilainya diatas Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta) maka hanya ada satu Objek pajak  yang mendapat potongan NJOPTKP.
Salah satu syarat penentuan tarif pajak adalah keadilan, baik keadilan dalam prinsip maupun dalam pelaksanaannya. Dengan adanya keadilan pemerintah dalam menciptakan keseimbangan sosial sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Tarif PBB P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dengan pemperhatikan aspek pembebanan terhadap rakyat

A.6. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 31 tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Berupa Rumah Susun Sederhana Sewa
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi untuk mendukung terselenggaranya pendidikan keluarga, persemaian budaya dan peningkatan kualitas generasi mendatang yang berjati diri. Untuk mengatasi masalah kesenjangan dan kebutuhan perumahan, pemerintah telah mencanangkan Gerakan Pengembangan sejuta Rumah oleh Presiden RI pada Hari habitat bulan Oktober tahun 2003. Salah satu program yang ditetapkan untuk mendukung gerakan tersebut adalah Program Pengembangan dan Peningkatan Kualitas Perumahan dan Pemukiman dengan membangun Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa).
Wilayah Kota Gresik mempunyai kedudukan dan posisi yang sangat strategis, baik dalam konstelasi wilayah Kabupaten Gresik maupun yang terkait dengan pengembangan wilayah Gerbangkertasusila (GKS). Kota Gresik yang merupakan bagian dari pengembangan wilayah Surabaya Metropolitan Area (SMA), sedikit banyak telah terimbas dari dampak pembangunan tersebut, baik dari sisi positif maupun dari sisi negatif. Di Kota Gresik terdapat beberapa industri berskala besar, banyaknya industri besar yang berlokasi di kota ini disebabkan kota ini pada awalnya dipersiapkan untuk mendukung perkembangan kota Surabaya.
Dengan adanya industri – industri yang berskala besar seperti PT. Semen Gresik, PT. Petrokimia Gresik, PT. Smelting serta industri – industri lainnya baik yang berskala sedang maupun kecil manyebabkan Kota Gresik yang semula merupakan Kota yang sepi berkembang menjadi kota industri. Denga semakin bertambahnya jumlah industri yang berkembang di Kota Gresik menyebabkan jumlah penduduk semakin bertambah karena banyaknya para pendatang yang berasal dari kota-kota sekitar Gresik yang ingin mencari pekerjaan di Gresik, seirirng dengan hal tersebut kebutuhan akan hunian atau perumahan juga semakin meningkat.
Untuk mengatasi permasalahan kebutuhan akan perumahan khususnya pada daerah-daerah perkotaan yang cenderung berkembang tidak sehat (kumuh), dan menjembatani masyarakat berpenghasilan rendah yang belum mempunyai rumah untuk mendapatkan hunian yang layak huni dengn cara menyewa sesuai kondisi/kemampuan mereka. Serta untuk mengantisipasi semakin bertambahnya rumah sewa yang cenderung menimbulkan kekumuhan dan kemacetan kota, karena semakin berkembangnya kegiatan pembangunan industri besar maupun industri kecil di Kabupaten Gresik, sehingga sangat diperlukan penyediaan sarana dan prasarana hunian dikawasan industri di perkotaan melalui pembangunan dan penyediaan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) sebagai langkah dalam rangka memenuhi kebutuhan hunian untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah dengan cara sewa.
Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Retribusi  Pemakaian  Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA) meliputi retribusi yang dikenakan atas jasa usaha pemakaian kekayaan daerah, yaitu pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi:
a. pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan/atau
b. pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.
Objek Retribusi  Pemakaian  Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA) adalah Objek retribusi adalah pelayanan pemberian hak atas pemakaian Rusunawa untuk jangka waktu tertentu. Subyek Retribusi adalah Orang pribadi atau badan yang mendapatkan hak untuk memakai dan atau memanfaatkan Rusunawa. Wajib Retribusi adalah Orang atau Badan yang memakai dan atau memanfaatkan Rusunawa yang diwajibkan untuk membayar Retribusi.
Tingkat Penggunaan jasa dihitung berdasarkan jenis, jangka waktu dan luas klasifikasi parameter pemakaian Rusunawa. Prinsip dan sasaran dalam menetapkan struktur dan besar tarif Retribusi didasarkan pada tujuan untuk memperoleh biaya yang layak sebagai pengganti biaya perawatan/ pemeliharaan dan biaya operasional Rusunawa dengan memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat dan fungsi pelayanan pemerintah kepada masyarakat.


BAB II
PERATURAN BUPATI SEBAGAI INSTRUMEN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Pada pembahasan sebelumnya, telah diketahui bahwa setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berdasarkan Pasal 95 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (1), ditentukan bahwa Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Berdasarkan Pasal tersebut, telah ditindaklanjuti dengan pengaturan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Gresik yang terdiri dari :
1. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 2 tahun 2011 tentang Pajak Daerah;
2. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 4 tahun 2011 tentang retribusi Jasa Umum;
3. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 5 tahun 2011 tentang retribusi Perijinan Tertentu;
4. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 6 tahun 2011 tentang retribusi Jasa Usaha;
5. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 7 tahun 2011 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan; dan
6. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 31 tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Berupa Rumah Susun Sederhana Sewa.

Peraturan Daerah tersebut merupakan hukum positif yang wajib dijadikan acuan oleh seluruh pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kabupaten Gresik. Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Perda PDRD) merupakan peraturan yang mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009, khususnya Pasal 95 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (1). Sebagaimana sebuah Peraturan Daerah, pada beberapa sisinya Perda PDRD belum sepenuhnya dapat diimplementasikan karena norma-norma yang dimuat masih bersifat umum sehingga memerlukan peraturan pelaksanaan.
Menurut stuffenbau theory (teori hirarki peraturan perundang-undangan), secara umum kita dapat mengelompokkan peraturan perundang-undangan ke dalan empat tingkat yaitu : Pertama adalah ketentuan yang memuat norma dasar (grundnorm) yaitu Undang Undang Dasar, kedua adalah ketentuan legislatif yang menjabarkan norma dasar yaitu Undang Undang, ketiga adalah ketentuan yang dibentuk oleh pemerintah sebagai aturan pelaksanaan dari Undang Undang yaitu Peraturan Pemerintah (implementing legislation), dan keempat adalah ketentuan organik untuk mengoperasionalkan secara rinci Peraturan Pemerintah yaitu antara lain: Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dan dalam praktek di daerah kita kenal Peraturan Bupati.  
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan disebutkan pada Pasal 7 :
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Sedangkan ketentuan jenis peraturan Bupati diatur dan tetap diakui sebagai peraturan perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU No. 12/2011 yang berbunyi:
Pasal 8
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Jadi, berdasarkan Pasal 8 UU No. 12/2011 Peraturan Bupati tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Dalam Perda PDRD, secara tersurat mengamanatkan 52 pokok aturan/penetapan yang harus diatur/ditetapkan lebih lanjut oleh Bupati yaitu 44 substansi aturan yang harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati, 6 pokok materi penetapan yang harus lakukan dengan Keputusan Bupati, 1 pengaturan/penetapan alternative sebagaimana diatur dalam pasal 108 perda Nomor 2 tahun 2011 dan 1 delegasi blangko sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Perda nomor 5 tahun 2011 karena ruang lingkup materi yang diatur tidak jelas.
Secara rinci pokok pendelegasian tersebut antara lain :
a. Pendelegasian dengan Peraturan Bupati :
1. Tata cara penggunaan bon penjualan (bill) atau kwitansi untuk setiap transaksi pelayanan hotel 
2. Tata cara penggunaan bon penjualan (bill) atau kwitansi untuk setiap transaksi pelayanan restoran
3. Tata cara perhitungan Nilai Sewa Reklame  
4. Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah 
5. Tata  cara  pelaporan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan oleh pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara 
6. Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT   
7. tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT  
8. tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak  
9. tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak  
10. Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak diatur dengan Peraturan Bupati
11. Tata cara penghapusan piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa   
12. Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuan atau pencatatan  
13. Tata cara pemeriksaan pajak  
14.  Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif  bagi pelaksana pemungutan Pajak Daerah atas dasar pencapaian kinerja tertentu  
15. Pedoman tatalaksana pelayanan persampahan/kebersihan  
16. Pedoman tatalaksana pelayanan parkir ditepi jalan umum  
17. Ketentuan teknis pelaksanaan pengujian kendaraan bermotor  
18. Ketentuan teknis pelaksanaan pengendalian dan pengawasan menara telekomunikasi  
19. Tata Cara pelaksanaan Pemungutan Retribusi
20. Hasil pungutan retribusi Pelayanan Kesehatan digunakan seluruhnya oleh Puskesmas dan Labkesda untuk biaya penyediaan pelayanan Kesehatan di Puskesmas dan Labkesda  
21. Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi  
22. Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa  
23. Kriteria Wajib Retribusi dan penentuan besaran omzet serta yang dikenakan kewajiban pembukuan atau pencatatan dan tata caranya  
24. Tata cara pemeriksaan Retribusi  
25. Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif retribusi diatur dengan Peraturan Bupati.
26. Ketentuan pemberian disinsentif IMB diatur dengan Peraturan Bupati.
27. Ketentuan mengenai teknis pelaksanaan ijin trayek  
28. Ketentuan mengenai teknis pelaksanaan Izin Usaha Perikanan
29. Pedoman tatalaksana pelayanan di tempat parkir khusus  
30. Ketentuan teknis pelaksanaan retribusi rumah potong hewan
31. Ketentuan teknis pelaksanaan penyeberangan di air  
32. tata cara pendataan dan pelaporan Objek Pajak bumi dan bangunan  
33. Tata cara penerbitan SPPT/ SKPD PBB  
34. Tata cara pengisian dan penyampaian SPOP, SPPT dan SKPD  PBB  
35. tata cara pembayaran, penyetoran, angsuran dan penundaan pembayaran PBB  
36. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan penetapan PBB  
37. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan PBB   
38. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran PBB   
39. tata cara penghapusan piutang PBB yang sudah kedaluwarsa
40. tata cara pemeriksaan PBB  
41. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif PBB
42. Penetapan tarif Retribusi rusunawa dan retribusi perizinan tertentu hasil peninjauan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian
43. Tata cara Pembayaran, penyetoran, dan tempat pembayaran Retribusi Rusunawa  
44. Tata cara penghapusan piutang retribusi Rusunawa yang sudah kedaluwarsa.  

b. Pendelegasian dengan Keputusan Bupati :
1. penetapan Tempat yang berada di tepi Jalan Umum di wilayah daerah Kabupaten Gresik sebagai tempat parkir kendaraan bermotor
2. penetapan pengecualian masa retribusi terutang  bagi wajib retribusi untuk memanfaatkan pelayanan izin trayek/gangguan/IMB  
3. Penetapan standar biaya secara periodik pemasangan reklame termasuk biaya pembuatan dan biaya pemeliharaan  
4. Penunjukan pejabat/tenaga ahli untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang retribusi daerah  
5. Penetapan tempat pembayaran PBB terutang dibayar ke Kas Umum Daerah atau yang ditunjuk
6. Penetapan tempat pembayaran Surat Setoran Pajak daerah /Retribusi Daerah  

c. Pendelegasian dengan Peraturan Bupati / Keputusan Bupati (alternative), karena tidak disebutkan secara tegas instrumennya, sebagaimana diatur dalam Pasal 108 Perda 2 tahun 2011 tentang Pajak Daerah disebutkan bahwa bupati dapat melimpahkan kewenangan [(sebagian/seluruhnya (catatan Penulis)] dalam bidang perpajakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah kepada Kepala Dinas.

d. Delegasi Blangko dengan Peraturan Bupati sebagaimana telah diatur dalam Pasal 62 Perda 5 tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan tertentu yang berbunyi : Hal - hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijelaskan bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah. Dalam pendelegasian kewenangan mengatur tidak boleh adanya delegasi blangko. Selanjutnya disebutkan bahwa Pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan jenis Peraturan Perundang-undangannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Perda Nomor 5 Tahun 2011 seharusnya tidak dilakukan.

Dengan cukup banyaknya peraturan pelaksanaan setingkat Peraturan Bupati dan Keputusan Bupati yang harus ditetapkan sebagai instrument pelaksanaan Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka kiranya Pemerintah Kabupaten Gresik dapat lebih cepat, cermat, teliti dalam pengambilan kebijakan pengaturan dengan melakukan kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta memperhatikan status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Peraturan yang baru. Kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur agar terhindar dari terjadinya tumpang tindih pengaturan.  
Mulai dengan saat tetapkannya Perda PDRD, hingga saat ini setidaknya telah ada 13 (tiga belas) Peraturan Bupati sebagai instrument pelaksana pemungutan Pajak Daerah dan retribusi daerah sebagaimana telah diamanatkan dalam Perda PDRD. Peraturan Bupati tersebut antara lain :
1. Peraturan Bupati Gresik Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Ketentuan Dasar Perhitungan Pajak Penerangan Jalan;
2. Peraturan Bupati Gresik Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Sistem Dan Prosedur Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Kabupaten Gresik.
3. Peraturan Bupati Gresik  Nomor 32  Tahun 2011 Tentang Klasifikasi Dan Penetapan Nilai Jual Pajak (NJOP) Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdasaan Dan Perkotaan
4. Peraturan Bupati Gresik  Nomor 33 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, Angsuran Dan Penundaan Pembayaran Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan Di Kabupaten Gresik  
5. Peraturan Bupati Gresik  Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan
6. Peraturan Bupati Gresik  Nomor 35 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan Yang Sudah Kadarluarsa
7. Peraturan Bupati Gresik Nomor 47 Tahun 2011 Tengang Ketentuan Dasar Perhitungan Pajak Reklame
8. Peraturan Bupati Gresik Nomor 48 Tahun 2011 Tentang Ketentuan Dasar Perhitungan Pajak Parkir
9. Peraturan Bupati Gresik  Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan
10. Peraturan Bupati Gresik Nomor 51 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengembalian Pembayaran Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan
11. Peraturan Bupati Gresik  Nomor 60 Tahun 2011 Tentang  Pemberian Insentif Bagi Tim Pencapaian Target Surat Keputusan Bersama Pajak Bumi Dan Bangunan (SKB.PBB) Perdesaan Dan Perkotaan Kabupaten Gresik  
12. Peraturan Bupati Gresik Nomor 62 Tahun 2011 Tentang Pemberian Dan Pemanfaatan Intensif Pemungutan Retribusi Daerah.
13. Peraturan Bupati Gresik Nomor 22 Tahun 2012 Tentang Jasa Pelayanan Kesehatan Di Sarana Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah Daerah

Sedangkan Keputusan yang telah ditetapkan dalam rangka pelaksanaan pajak daerah dan retribusi daerah setidaknya ada 11 (sebelas) yang telah dikeluarkan yaitu :
1. Keputusan Bupati Gresik Nomor : 970/387/HK/437.12/2011 Tentang Tim Pencapaian Target Surat Keputusan Bersama Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Kabupaten Gresik.
2. Keputusan Bupati Gresik Nomor : 900/713/HK/437.12/2011 Tentang Penunjukan Perseroan Terbatas Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Sebagai Bank Penerima Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Gresik
3. Keputusan Bupati Gresik Nomor : 970/181/HK/437.12/2011 Tentang Penunjukan Bank Jatim Sebagai Bank Penerima Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Di kabupaten Gresik.
4. Keputusan Bupati Gresik Nomor : 950/711/HK/437.12/2011 Tentang Pemberian dan Pembayaran Intensif Pemungutan Retribusi Daerah Bagi Pejabat dan Staf pada Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik Tahun Anggaran 2011.
5. Keputusan Bupati Gresik Nomor : 950/712/HK/437.12/2011 Tentang Pemberian dan Pembayaran Intensif Pemungutan Retribusi Daerah Bagi Pejabat dan Staf pada Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan Sosial Kabupaten Gresik Tahun Anggaran 2011.
6. Keputusan Bupati Gresik Nomor : 900/6/Hk/437.12/2012 Tentang Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi Da Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan
7. Keputusan Bupati Gresik Nomor : 900/355/HK/437.12/2012 Tentang Penetapan Penggunaan Belanja Tidak Terduga Tahun 2012 Untuk Pengembalian Kelebihan Pendapatan  Pajak Hiburan  Tahun 2011
8. Keputusan Bupati Gresik Nomor : 970/464/HK/437.12/2012 Tentang Tim Pencapaian Target Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan Kabupaten Gresik Tahun 2012
9. Keputusan Bupati Gresik Nomor : 950/496/HK/437.12/2012 Tentang Pemberian Dan Pembayaran  Insentif Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan  Kabupaten Gresik Periode Triwulan I Dan II Tahun 2012
10. Keputusan Bupati Gresik Nomor : 950/556/HK/437.12/2012 Tentang Pemberian Dan Pembayaran  Insentif Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan  Kabupaten Gresik Periode Triwulan III Tahun 2012
11. Keputusan Bupati Gresik Nomor : 362/380/HK/437.12/2012 Tentang Penunjukan Pejabat Yang Diberi Wewenang Sebagai Pengelola Keuangan Pelayanan Kepelabuhanan Pada Dinas Perhubungan Kabupaten Gresik

Meskipun Perda PDRD mengamanatkan pengaturan lebih lanjut 44 substansi yang harus diatur dengan Peraturan Bupati dan 6 substansi penetapan dangan Keputusan Bupati dan 1 substansi penetapan alternative dengan Peraturan Bupati atau Keputusan Bupati, namun hal ini tidak berarti bahwa harus ditetapkan dalam bentuk 44 Perbup, 6 Kepbup dan 1 Per/Kep Bupati. Untuk mengurangi resiko tumpang tindih (overlap), memudahkan harmonisasi, dan menghindari aturan yang tercecer, kebijakan dapat dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Gresik adalah menggabungkan substansi-substansi Perda PDRD yang diamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati ke dalam satu atau beberapa Bupati. Pelaksanaan kebijakan tersebut tercermin pada penggabungan beberapa substansi Perbup ke dalam satu atau beberapa Perbup. Penggabungan substansi dapat dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Jenis pungutan berupa pajak atau tetribusi
b. Golongan Objek Retribusi terdiri dari Jasa Umum, Jasa Usaha,  dan Perizinan Tertentu.
c. Tata cara pengenaan pajak, yaitu ditetapkan oleh Kepala Daerah (Official Assesment) atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Self Assesment).
d. Tata cata administrasi teknis pemungutan;
e. Satuan perangkat daerah pemungut; atau
f. Cara lain dengan memperhatikan kekhususan teknis dan atau lokasi pemungutan.

Beragam faktor terjadi dan mengakibatkan kesalahan serta lambatnya pembentukan kebijakan oleh pemerintah daerah dalam bidang pajak daerah dan retribusi daerah hingga kini tampaknya belum ada data konkrit mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya disharmonisasi kebijakan daerah dengan peraturan perundang-undangan tersebut. Namun demikian jika dicermati kemungkinan besar dalam setiap pembentukan kebijakan bermasalah terdapat satu atau lebih persoalan sebagai berikut:
a. Daerah menganggap dengan tidak adanya kerangka acuan yang jelas dalam membentuk Perda dan Perbup Bidang Pajak daerah dan Retribusi Daerah, maka pembentukan Perda mengabaikan ketentuan-ketentuan prinsip mengenai asas dan materi muatan Pembentukan Perda dan Perbup sebagaimana ditetapkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah, UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan dan UU 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
b. Daerah memahami prinsip-prinsip pengaturan penyusunan Perda dan perbup bidang Pajak daerah dan Retribusi Daerah sesuai UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan dan UU 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, namun kurang kapasitas pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan teknik-teknik perumusan norma yang dinilai tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
c. Langkah-langkah pembinaan yang dilakukan oleh instansi Pusat kepada aparatur pemerintah daerah dalam penyusunan Perda dan Pebup kemungkinan belum optimal dan belum merata.
d. Bentuk-bentuk hubungan komunikasi, konsultasi, klarifikasi Raperda antara instansi Pemerintah dengan aparat terkait di daerah yang selama ini diterapkan kemungkinan kurang efektif.
e. Peran Gubernur dalam membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan kabupatan  kemungkinan belum optimal.
Disamping hal-hal tersebut di atas, perlu cermati berbagai persoalan yang kemungkinan bersumber dari sisi Pemerintah yang mempersulit Pemda dalam menyusun regulasi, antara lain:
1. Perundang-undangan yang menjadi landasan atau pedoman dalam menyusun Perda mengalami perubahan atau pergantian yang cepat dan daerah kurang siap menyikapi perubahan tersebut.
2. Perundang-undangan menjadi landasan atau pedoman bagi daerah dalam menyusunan Perda terlambat diterbitkan.
3. Secara teknis, lingkup Perundang-undangan yang harus diharmonisasi oleh daerah banyak dan beragam mulai dari UU sampai dengan Peraturan Menteri, sehingga proses harmonisasi kebijakan di daerah membutuhkan waktu dan energi yang lebih banyak.
4. Inkonsistensi peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat dapat berdampak terjadinya kekeliruan daerah dalam menentukan ketentuan acuan hukum. Hal ini bisa juga terjadi dalam hal terdapat peraturan pelaksanaan yang dipandang tidak sesuai dengan dengan UU pokoknya.
5. Sebagai dampak penguasaan kekuasaan pemerintah dalam pembuatan Peraturan di masa lalu, ternyata sebagian peraturan dihasilkan dalam waktu tersebut lebih menonjolkan keperluan kekuasaan daripada perlindungan atau kebutuhan publik. Sebagian undang-undang diterbitkan ditujukan untuk memperkuat eksistensi institusi guna menjalankan kewenangan yang pada kenyataannya telah menumbuhkan ego sektoral. Masing-masing institusi merasa perlu memiliki Peraturan sektoral untuk mengatur lingkup tugas dan dari peraturan itu diperoleh kewenangan. Akibatnya, beberapa peraturan saling bertabrakan satu sama lainnya, terjadi tumpang tindih kewenangan yang terlahir dari peraturan  itu. Disamping itu terjadi pula berbagai peraturan perundang-undangan sering diabaikan karena tidak mendukung kebijaksanaan, akibatnya terjadi diskriminasi dalam pemberian pelayanan masyarakat diberbagai tingkatan.
6. Kurangnya sosialiasi peraturan perundang-undangan menimbulkan perbedaan persepsi dan pemahaman antara aparatur daerah dengan instansi Pemerintah.
7. Ketidaksiapan Pemerintah dalam menyediakan ketentuan mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria pelaksanaan suatu urusan pemerintahan tertentu dapat mendorong daerah mengambil inisiatif-inisitaf sendiri dengan membuat peraturan atau kebijakan yang dapat bertentangan dengan PP.
8. Pendelegasian pengaturan suatu hal tertentu dalam Perundang-undangan kepada Perda yang tidak jelas terutama lingkup materi muatan yang diperintahkan untuk diatur Perda, dapat mempersulit daerah dalam menyusun Perda. Pendelegasian pengaturan kepada peraturan daerah yang tidak spesifik menyebut tingkatan Perda dapat berpotensi menimbulkan perselisihan kewenangan dan tumpang tindih pengaturan.
9. Koordinasi antara instansi Pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap peraturan daerah kemungkinan belum sinergis dan terpadu.

Salah satu ide reformasi yang harus diwujudkan, bahwa hukum harus dikawal demi tegaknya supremasi hukum untuk mencapai tujuannya yaitu kepastian hukum, keadilan, ketertiban, ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan. Pemikiran filosofis mengungkapkan bahwa hukum berdiri pada tiga nilai dasar yaitu :
1. perimbangan pada nilai keadilan;
2. nilai kepastian hukum; dan
3. nilai kemanfaatan hukum.
Perimbangan pada nilai keadilan ditandai dengan peraturan yang dianggap adil dan berlaku pada kehidupan di masyarakat sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Hukum dilihat sebagai suatu nilai kepastian, mengandung arti bahwa kaidah dan norma yang mewajibkan dan telah ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang sah harus dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang adil tersebut. Sedangkan hukum dilihat sebagai suatu sarana yang menghasilkan kemanfaatan atau kegunaan mendasarkan bahwa keharusan keberadaan hukum tersebut membawa kemanfaatan bagi kehidupan di masyarakat.
Perbedaan diantara ketiganya memang sangatlah terasa, keberadaan hukum haruslah mengandung tuntutan keadilan, peraturan perundang-undangan menandakan norma dan kaidah yang secara nyata digunakan untuk memenuhi tuntutan tersebut, dan hukum yang harus kemanfaatan bagi kehidupan di masyarakat. Akan tetapi keterikatan diatara ketiganya pun tidak bisa dielakkan, penjabaran hukum terhadap nilai keadilan merupakan hal yang sangat fundamental, hal ini dikarenakan keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum yang diterapkan pada peraturan perundang-undangan yang merupakan bentuk suatu kepastian. Sedangkan hasil akhir dari kolaborasi antar keduanya diharapkan secara nyata berguna di masyarakat.
Seperti telah dijelaskan, meskipun tiganya merupakan nilai dasar hukum, akan tetapi diantaranya terdapat suatu ketegangan, hal ini terjadi karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan sifat yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan
Apabila kita lebih berpegang pada kepastian hukum, maka sebagai nilai yang menempatkan diri pada sudut pandang peraturan, disadari ataupun tidak sedikit banyak akan segera menggeser keberadaan nilai keadilan dan kegunaan. Hal ini terjadi karena pada nilai kepastian ide pokok keberadaan norma dan kaidah yang tertuang dalam peraturan menjadi sangat dominan. Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang penting bagi nilai kemanfaatan adalah kenyataan apakah hukum tersebut membawa manfaat atau berguna bagi masyarakat. Begitu pula yang terjadi jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena pada nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum. Dengan demikian sebisa mungkin kita harus dapat membuat “kesebandingan” secara proporsional di antara ketiga nilai.
Dalam menyesuaikan norma dan kaidah dengan peristiwa nyata yang berlaku dalam masyarakat, bukanlah merupakan persoalan mudah, karena hal ini merangkum ketiga nilai dari hukum itu. Keadaan seperti ini memberikan pengaruh tersendiri terhadap efektivitas bekerjanya peraturan dalam masyarakat. Kebiasaan yang timbul dalam praktek hukum di Indonesia, bahwa Negara menkaji efektifitas bekerjanya hukum dari sudut pandang peraturan, sehingga ukuran untuk menilai tingkah dan hubungan hukum didasarkan pada sumber hukum formil yang berlaku. Tidak salah memang, karena peraturanlah yang dianggap paling bisa divariabelkan koefisiennya, tentu dengan syarat peraturan tersebut dibuat dengan memperhatikan kesebandingan nilai dasar hukum lainnya.  Keterpurukan Negara ditandai dengan permasalahan kepastian hukum dan regulasi yang masih menjadi hambatan dalam kegiatan penyelenggaraan bernegara dan pembangunan. Banyak faktor penyebab permasalahan, salah satunya adalah “kualitas” peraturan itu sendiri, banyak peraturan tumpang tindih, tidak konsisten, mempunyai tafsir ganda. Di samping itu juga disebabkan oleh semakin banyaknya peraturan perundang–undangan baik pada tataran peraturan yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintahan Daerah, tanpa proses kajian yang lengkap, egosektoral tanpa sinkronisasi dan harmonisasi yang menyebabkan adanya peraturan untuk kepentingan sepihak serta tanpa memperhatikan keserasian antar peraturan perundang-undangan yang ada.
Disamping banyaknya aturan yang dapat menyebabkan disharmonisasi regulasi, ketiadaan aturan juga bukan permasalahan sepele, pelaksanaan norma-norma umum dengan penafsiran-penafsiran dalam pelaksanaan teknis dapat berakibat fatal dalam sistem pemerintahan dan masyarakat. Besar kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kewenangan dengan mengandalkan penafsiran yang berbeda. Kemingkinan dilakukannya pembohongan kepada rakyat dan mungkin lebih parahnya lagi, apabila peraturan ditafsirkan dengan tujuan pembenaran terhadap kesalahan, legalisasi kejahatan.


BAB III
PELAKSANAAN PEMBINAAN ADMINISTRASI DAN TEKNIS PEMUNGUTAN RETRIBUSI DAERAH

A. Analisa
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, apabila diperhatikan ternyata instrument pelaksana Perda PDRD sebagian besar ada pada bidang Pajak daerah, sedangkan instrument pelaksanaan pemungutan retribusi sangatlah minim. Dari data sementara yang diperoleh, hanya ada 2 (dua) instrumen amanat Perda Retribusi daerah yaitu Peraturan Bupati Gresik Nomor 62 Tahun 2011 Tentang Pemberian Dan Pemanfaatan Intensif Pemungutan Retribusi Daerah dan Peraturan Bupati Gresik Nomor 22 Tahun 2012 Tentang Jasa Pelayanan Kesehatan Di Sarana Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah Daerah dimana didalamnya tidak hanya mengatur biaya insentif pelayanan dan 2 (dua) keputusan bupati tentang penetapan pemberian insentif tahun 2011, dan 1 (satu) instrument Keputusan Bupati tentang Penunjukan Pejabat Yang Diberi Wewenang Sebagai Pengelola Keuangan Pelayanan Kepelabuhanan Pada Dinas Perhubungan Kabupaten Gresik, yang berisi penetapan pejabat yang mengelola rekening penampungan sementara (ascrow account) Pemda untuk keperluan Retribusi Kepelabuhanan pada dinas Perhubungan sebagai pelaksanaan dari sesuai dengan Pasal  35  ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 19 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan di Kabupaten Gresik dan Pasal  52 ayat (3) Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 6 Tahun 2011 tentang Jasa Usaha. Sedangkan peraturan pelaksana lainnya didominasi peraturan tentang Pajak Daerah.
Kenyataan tersebut dimungkinkan terjadi karena :
1. Banyaknya jenis retribusi yang harus dipungut;
2. Banyaknya SKPD teknis yang melakukan proses pemungutan retribusi;
3. Kurangnya instrument peraturan di tingkat pusat yang dapat dijadikan pedoman pelaksanaan
4. Kurangnya pemahaman akibat tidak adanya pembinaan yang cukup kepada pemungut terhadap perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan baik administrasi maupun teknis pemungutan retribusi; dan
5. Kurangnya koordinasi pelaksanaan antar pemungut;
 
Dalam Pelaksanaan di Kabupaten Gresik,  pemungutan Pajak Daerah sebagaimana diatur dalam Perda Nomor 2 Tahun 2011 dan Perda Nomor 7 Tahun 2011 terdiri dari:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; dan
k. Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan.
dilakukan oleh Dinas Daerah yaitu Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Gresik.
Sedangkan pemungut retribusi daerah dapat diketahui dari inventarisasi pada tabel dibawah ini :
No
Jenis Retribusi
Instansi Pemungut
1
Retribusi Pelayanan Kesehatan;
Dinkes
2
Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan;
Dinas PU
3
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil;
Dispenduk
4
Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
Dishub
5
Retribusi Pelayanan Pasar;
Diskoperindag
6
Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor; 
Dishub
7
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.
Dishub
8
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
BPMP
9
Retribusi Izin Gangguan;
BPMP
10
Retribusi Izin Trayek; dan
Dishub
11
Retribusi Izin Usaha Perikanan.
DKPP
12
Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah dengan obyek:
a. pemakaian tanah;

b. pemakaian bangunan (gedung rumah dinas, gedung olah raga, gedung pertemuan);
c. tempat olah raga (Lapangan);
d. laboratorium;
e. kendaraan; dan
f. alat-alat berat.

Bagian Perlengkapan

Bagian Perlengkapan

Bagian Perlengkapan
Dinas PU
Dinas PU
Dinas PU
13
Retribusi Tempat Pelelangan ;
DKPP
14
Retribusi Terminal;
Dishub
15
Retribusi Tempat Khusus Parkir;
Dishub
16
Retribusi Rumah Potong Hewan;
DKPP
17
Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
Dishub
18
Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga; dan
Disbudparpora
19
Retribusi Penyeberangan di Air.
Dishub
20
Retribusi Pemakaian Rusunawa
Dinas PU

Kurangnya koordinasi dalam pelaksanaan perumusan kebijakan sistem dan mekanisme program bidang pendapatan daerah dari retribusi daerah oleh pemungut dimungkinkan menjadi kendala utama terjadinya ketimpangan volume kebijakan antara pajak daerah dan retribusi. Permasalahan koordinasi ini mungkin dapat terpecahkan apabila masing-masing SKPD melaksanakan tugas dan fungsi sesuai yang telah ditetapkan.
Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan agar pelaksanaan pemungutan dapat berjalan dengan baik salah satunya adalah dengan pembinaan pemungutan retribusi. Pembinaan adalah kegiatan untuk memberikan pedoman bagi SKPD Pemungut Retribusi Daerah dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan baik administrasi maupun teknis dengan maksud agar pemungutan retribusi berdasarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing dilakukan secara benar dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembinaan pemungutan retribusi dapat dibagi menjadi 2 pokok penting yaitu : 1) pembinaan administrasi pemungutan dan 2) pembinaan teknis pemungutan retribusi daerah, yang dimaksudkan untuk memberikan arah penyelenggaraan kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan hasil pemungutan retribusi daerah agar dapat diprioritaskan untuk membiayai kegiatan bersangkutan, dengan tujuan untuk menghindari menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat dan pendapatan asli daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, bahwa pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.

Pembinaan Administrasi Pemungutan Retribusi Daerah dapat dilakukan untuk kegiatan:
a. penyusunan kebijakan dalam pelaksanaan pemungutan retribusi daerah;
b. penyusunan perencanaan penerimaan dan sarana pemungutan retribusi daerah tingkat daerah;
c. monitoring, evaluasi penerimaan dan permasalahan retribusi daerah;
d. sosialisasi kebijakan administrasi pemungutan retribusi daerah.
e. pengembangan sistem pemungutan dan informasi dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan dan optimalisasi penerimaan retribusi daerah.
f. kegiatan pembinaan administrasi lainnya yang terkait dengan retribusi daerah.
Dalam pelaksanaannya dengan memperhatikan rincian tugas, fungsi dan tata kerja SKPD, Pembinaan administrasi dapat diselenggarakan oleh Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dan/atau instansi terkait sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing secara berkoordinasi dan dapat melibatkan SKPD pemungut yang bersangkutan.
 Pembinaan Teknis Pemungutan Retribusi Daerah dapat dilakukan untuk kegiatan:
a. penyuluhan kepada aparat dan petugas pemungut retribusi daerah;
b. sosialisasi kebijakan teknis pemungutan retribusi daerah;
c. pemutakhiran data potensi retribusi daerah;
d. pengembangan sistem pemungutan dan informasi; dan
e. pembinaan teknis Iainnya yang terkait dengan retribusi daerah. Pembinaan Teknis tersebut diselenggarakan oleh masing-masing SKPD dan berkoordinasi dengan DPPKAD serta dapat melibatkan instansi terkait.
Untuk menunjang kelancaran kegiatan perencanaan penerimaan dan penyusunan kebijakan pemungutan retribusi daerah, SKPD dapat melakukan kegiatan penghitungan potensi secara berjenjang sebagai bahan perencanaan penerimaan dan menyusun bahan usulan kebijakan dalam rangka peningkatan pelayanan dan optimalisasi pemungutan retribusi daerah.

B. Upaya Pemecahan Permasalahan
1. Perencanaan Penyusunan Kegiatan 
Dalam rangka pemungutan retribusi daerah paling lama pada pertengahan tahun anggaran berjalan SKPD harus menyampaikan rencana kegiatan pembinaan administrasi dan teknis pemungutan retribusi daerah kepada DPPKAD selaku Koordinator untuk perencanaan tahun berikutnya.
Rencana kegiatan tersebut secara teknis dapat dirinci menurut: a. nama dan latar belakang kegiatan; b. Jumlah anggaran dan waktu pelaksanaan; c. Rincian dan langkah-langkah kegiatan; d. Tujuan, sasaran dan hasil yang diharapkan. Rencana kegiatan yang telah disampaikan selanjutnya diteliti dan dikoordinasikan lebih lanjut oleh Tim Pembinaan Administrasi dan Teknis Pemungutan Retribusi Daerah yang keanggotaannya terdiri dari instansi terkait dengan susunan keanggotaan yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati. Terhadap hasil penelitian dan koordinasi disampaikan kembali oleh Tim kepada masing-masing Kepala SKPD yang bersangkutan dan sebagai bahan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD), dengan tembusan Bappeda dan DPPKAD.  

2. Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan Administrasi Pemungutan Retribusi Daerah 
a. Penyusunan Kebijakan 
Pelaksanaan penyusunan kebijakan dalam pelaksanaan pemungutan retribusi daerah dapat dilakukan dengan memperhatikan antara lain:
1. hasil kajian terhadap efektifitas ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. terjadi keadaan memaksa yang harus mengubah atau menyesuaikan dengan kondisi yang ada seiring dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya;
3. terbitnya peraturan perundang-undangan baru yang terkait dengan kebijakan dalam pelaksanaan pemungutan retribusi daerah.
Rancangan penyusunan kebijakan diusulkan oleh DPPKAD atau instansi terkait dalam rangka pemungutan retribusi daerah atau oleh SKPD  masing-masing untuk mendapatkan persetujuan Bupati. Terhadap rancangan penyusunan kebijakan dalam pelaksanaan pemungutan retribusi daerah yang telah mendapat persetujuan Bupati harus dilakukan pembahasan bersama DPPKAD, Instansi terkait dan SKPD yang berkompeten dalam menjalankan kebijakan tersebut.

b. Penyusunan Perencanaan Penerimaan Dan Sarana Pemungutan Retribusi Daerah Tingkat Daerah 
Pelaksanaan penyusunan perencanaan penerimaan dan sarana pemungutan retribusi daerah dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Setiap SKPD pemungut retribusi daerah paling lambat pada akhir bulan Juni tahun berjalan harus menyampaikan perhitungan potensi retribusi daerah tahun sebelumnya dan usulan rencana penerimaan retribusi daerah pada APBD Perubahan tahun berjalan.
2. DPPKAD bersama instansi terkait selanjutnya melakukan analisis data perhitungan potensi sebagaimana tersebut pada angka 1 dengan membandingkan data penerimaan tahun sebelumnya dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap intensitas jasa pelayanan dan kegiatan pemberian perizinan retribusi daerah.
3. Hasil analisis sebagaimana tersebut pada angka 2, dikonfirmasikan dengan SKPD yang bersangkutan melalui rapat koordinasi.
4. Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana tersebut pada angka 3, selanjutnya dituangkan dalam Berita Acara dengan dilampiri rincian perhitungan usulan rencana penerimaan retribusi daerah.
5. Berita Acara sebagaimana tersebut pada angka 4 disampaikan kepada Bupati melalui Kepala DPPKAD untuk ditindaklanjuti sebagai bahan penyusunan rencana penerimaan tahun berikutnya dan usul APBD Perubahan tahun berjalan.

c. Pelaksanaan Monitoring, Evaluasi Penerimaan Dan Permasalahan Retribusi Daerah 
Pelaksanaan monitoring, evaluasi penerimaan dan permasalahan retribusi daerah dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1. SKPD pemungut retribusi daerah paling lambat pada tanggal 15 satu bulan sebelum pelaksanaan monitoring evaluasi penerimaan dan permasalahan retribusi daerah wajib menyampaikan data jumlah ketetapan retribusi beserta sanksi yang tercantum dalam SKRD, SKRD Jabatan, SKRD Tambahan dan STRD berikut data jumlah pembayaran serta jumlah uang yang diterima oleh Petugas Pemungut/Bendahara Penerimaan berdasarkan dokumen lain yang dipersamakan.
2. SKPD/unit kerja Daerah selanjutnya menyampaikan daftar inventarisasi permasalahan atau kendala dalam pemungutan retribusi daerah berdasarkan pemantauan langsung di lapangan sebagai lampiran data-data sebagaimana dimaksud pada angka 1.
3. SPKD secara periodik paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya memberikan data penerimaan retribusi daerah kepada DPPKAD.
4. DPPKAD bersama instansi terkait melakukan pengolahan data sebagaimana tersebut pada angka 2, sebagai bahan analisis dan evaluasi penerimaan pada tahun berjalan.
5. Monitoring, evaluasi penerimaan dan permasalahan retribusi daerah dilakukan melalui rapat koordinasi antara DPPKAD, instansi terkait dan SKPD/unit kerja daerah pemungut retribusi daerah.
6. Periodesasi rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada angka 5, diatur sesuai kondisi yang ada.

d. Pelaksanaan sosialisasi kebijakan administrasi pemungutan retribusi daerah 
Pelaksanaan sosialisasi kebijakan administrasi pemungutan retribusi daerah dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1. Sosialisasi atas ketentuan peraturan perundang-undangan baru yang terkait dengan retribusi daerah untuk memberikan pemahaman kepada petugas atau masyarakat.
2. Narasumber untuk kegiatan sosialisasi dapat dilakukan menggunakan pejabat di lingkungan dan/atau diluar Pemerintah Daerah sepanjang terkait dengan program kerja sebagaimana dimaksud pada angka 1.
3. Melakukan koordinasi dengan SKPD dalam penyusunan materi sosialisasi.

e. Pelaksanaan Pengembangan sistem informasi pemungutan  
Pelaksanaan Pengembangan sistem informasi pemungutan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan dan optimalisasi penerimaan retribusi daerah dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. DPPKAD membangun database maupun aplikasi sistem pemungutan retribusi daerah di masing-masing SKPD  untuk meningkatkan pelayanan pemungutan retribusi daerah yang sesuai dengan karakteristik jenis retribusi dalam flat form dan mengacu pada Masterplan Teknologi Informasi Pemerintahan Daerah.
2. DPPKAD melakukan pembangunan, penyesuaian sistem aplikasi dan database serta pembuatan interface (program antara) di masing-masing SKPD.

 f. Pelaksanaan pembinaan administrasi lainnya
Pelaksanaan pembinaan administrasi lainnya yang terkait dengan retribusi daerah dapat diselenggarakan dalam hal :
1. Mendukung terciptanya percepatan pelayanan dan optimalisasi pemungutan retribusi daerah;
2. Pembenahan sistem informasi dalam rangka pengendalian pelaksanaan pemungutan retribusi daerah;
3. Terdapat temuan dari aparat pemeriksa fungsional sehingga perlu menyempurnakan dan/atau menerbitkan ketentuan yang mendukung pelaksanaan pemungutan retribusi daerah;
4. Permintaan SKPD untuk melakukan penelitian dan pengembangan dalam, rangka standarisasi pemungutan retribusi daerah dan strategi pengamanan target retribusi daerah.

3. Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan Teknis Pemungutan Retribusi Daerah 
a. Pelaksanaan Penyuluhan Kepada Aparat Dan Petugas Pemungut Retribusi Daerah
Pelaksanaan penyuluhan kepada aparat dan petugas pemungut retribusi daerah dilakukan dengan cara:
1. Memberikan penyuluhan peraturan perundang-undangan kepada petugas di lingkungan SKPD atau masyarakat, khususnya pengguna jasa pelayanan yang dilakukan oleh SKPD  masing-masing;
2. Materi dan tenaga penyuluh sebagaimana tersebut pada huruf 1, dapat menggunakan pejabat di lingkungan dan/atau di luar Pemerintah Daerah sepanjang terkait dengan materi penyuluhan;
3. Melakukan koordinasi pelaksanaan penyuluhan antara DPPKAD dan instansi terkait dalam rangka evaluasi dan merencanakan pengembangan metode penyuluhan.

b. Pelaksanaan sosialisasi kebijakan teknis pemungutan retribusi daerah
Pelaksanaan sosialisasi kebijakan teknis pemungutan retribusi daerah dilakukan dengan cara:
1. Memberikan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan baru yang terkait dengan retribusi daerah untuk memberikan pemahaman kepada petugas atau masyarakat khususnya pengguna jasa pelayanan yang diberikan oleh SKPD masing-masing;
2. Narasumber dalam rangka sosialisasi sebagaimana tersebut pada angka 1, dapat menggunakan pejabat di lingkungan dan/atau di luar Pemerintah Daerah sepanjang terkait dengan materi sosialisasi;
3. Melakukan koordinasi antara DPPKAD dan instansi terkait dalam menyusun materi sosialisasi.

c. Pelaksanaan pemutakhiran data potensi retribusi daerah
Pelaksanaan pemutakhiran data potensi retribusi daerah   dilakukan dengan cara:
1. Melakukan pemutakhiran data potensi daerah yang dilakukan secara periodik setiap triwulan sesuai dengan intensitas jumlah pelayanan berdasarkan pendaftaran permohonan pelayanan dan hasil temuan di lapangan terhadap subyek retribusi yang belum tercatat sebagai potensi retribusi daerah;
2. Pemutakhiran data potensi retribusi daerah harus dapat menunjukkan besaran angka perkiraan penerimaan untuk setiap triwulanan ke depan berdasarkan tarif retribusi yang berlaku;
3. Termasuk potensi retribusi daerah sebagaimana tersebut pada angka 1, juga terdapat pelayanan yang tidak dipungut atau digratiskan;
4. Perhitungan terhadap hasil pemutakhiran data potensi retribusi daerah harus dipilah secara berjenjang untuk masing-masing wilayah pemungutan mulai dari tingkat Kecamatan dan desa
5. Hasil pemutakhiran data potensi retribusi daerah  dituangkan dalam Berita Acara dan dilaporkan kepada DPPKAD dengan tembusan instansi terkait dalam rangka penyusunan rencana penerimaan perubahan maupun penerimaan tahun berikutnya.

d. Pelaksanaan Pengembangan sistem informasi pemungutan  
Pelaksanaan Pengembangan sistem pemungutan informasi dilakukan dengan cara:
a. SKPD dapat membangun database maupun aplikasi sistem pemungutan retribusi daerah sepanjang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pemungutan retribusi daerah yang sesuai dengan karakteristik jenis retribusi dalam flat form dengan mengacu pada Masterplan Teknologi Informasi Pemerintahan Daerah;
b. Terhadap SKPD yang telah memiliki database dan aplikasi  agar melakukan penyesuaian dengan sistem Teknologi Informasi Pemerintah Daerah, sedangkan terhadap sistem yang tidak dimungkinkan dilakukan penyesuaian agar membuat aplikasi antara (interface) yang merujuk kepada Master plan Teknologi Informasi Pemerintahan Daerah;
c. Untuk pembangunan, penyesuaian sistem aplikasi dan database serta pembuatan interface (program antara) harus terlebih dahulu dikoordinasikan dengan DPPKAD;
d. Untuk pelaksanaan e-goverment harus memenuhi prinsip-prinsip akurat, relevan, akuntabel dan transparan, maka SKPD wajib menyampaikan data  ketetapan retribusi beserta sanksinya dan jumlah pembayarannya melalui situs resmi DPPKAD paling lambat tanggal 10 setiap bulan.

e. Pelaksanaan pembinaan teknis lainnya yang terkait dengan retribusi daerah
Pelaksanaan pembinaan teknis lainnya yang terkait dengan retribusi daerah dapat dilakukan dengan cara:
a. Meningkatkan kinerja SKPD dalam pemungutan retribusi daerah;
b. Menyusun kerangka kebijakan dalam penerapan sistem informasi terkait dengan penggunaan sarana pemungutan retribusi daerah;
c. Pengendalian teknis di lapangan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi dalam rangka melaksanakan Peraturan Daerah;
d. Menindaklanjuti hasil temuan dari pemeriksa dengan mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang retribusi daerah yang kegiatannya harus dilaksanakan dalam suatu periode tertentu sehingga keterangan atau Iaporan tersebut dapat digunakan sebagai pembanding dan/atau melengkapi data yang telah ada;
e. Permintaan pejabat yang berkompeten dalam menentukan kebijakan pelaksanaan pemungutan retribusi.

4. Pengendalian, Evalusi Dan Pelaporan
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, timbul hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang sehingga perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan daerah. Selain kedua Undang-Undang tersebut, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan pengelolaan keuangan daerah yang telah terbit lebih dahulu. Undang-undang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Pada dasarnya buah pikiran yang melatarbelakangi terbitnya peraturan perundang-undangan di atas adalah keinginan untuk mengelola keuangan negara dan daerah secara efektif dan efisien. Ide dasar tersebut tentunya ingin dilaksanakan melalui tata kelola pemerintahan yang baik yang memiliki tiga pilar utama yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif.  
 Dalam pelaksanaan di Kabupaten Gresik, utamanya dalam sistem pengelolaan Retribusi daerah sebagai sub sistem pengelolaan keuangan daerah, agar tujuan transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif dapat terwujud perlu dilakukan pengendalian terhadap pelaksanaan Pembinaan Administrasi Dan Teknis Pemungutan Retribusi Daerah yang dilakukan oleh Kepala DPPKAD selaku koordinator pelaksanaan Pembinaan Administrasi Dan Teknis Pemungutan Retribusi Daerah. Terhadap pengendalian tersebut dilakukan evaluasi setiap 6 (enam) bulan sekali atau sewaktu-waktu sesuai kebutuhan dan hasil evaluasi dilaporkan kepada Bupati  melalui Sekretaris Daerah.

 



BUPATI GRESIK

PERATURAN BUPATI GRESIK
NOMOR      TAHUN 2012       
TENTANG
PEDOMAN KOORDINASI PEMBINAAN ADMINISTRASI DAN TEKNIS PEMUNGUTAN RETRIBUSI DAERAH


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GRESIK,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan Retribusi Daerah perlu diadakan koordinasi pembinaan sebagai pedoman bagi SKPD Pemungut Retribusi Daerah dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan baik administrasi maupun teknis dengan maksud agar pemungutan retribusi berdasarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing dilakukan secara benar dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a., perlu membentuk Peraturan Bupati tentang Pedoman Koordinasi Pembinaan Administrasi Dan Teknis Pemungutan Retribusi Daerah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2930 );
2. Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286 );
3. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355 );
4. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah untuk keduakalinya dengan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
5. Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggunggjawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
6. Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578 );
9. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tatacara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana diubah keduakalinya dengan Peratuan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011
11. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 2 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat daerah Kabupaten Gresik (Lembaran Daerah Kabupaten Gresik Tahun 2008 Nomor 2) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Gresik  Nomor 21 tahun 2011 (Lembaran daerah Kabupaten Gresik Tahun 2011 Nomor 21);
12.Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Gresik Tahun 2011 Nomor 4);
12. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Gresik Tahun 2011 Nomor 5);
13. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 6 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Gresik Tahun 2011 Nomor 6);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG PEDOMAN KOORDINASI PEMBINAAN ADMINISTRASI DAN TEKNIS PEMUNGUTAN RETRIBUSI DAERAH. 


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam peraturan Bupati ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Gresik.
2. Bupati adalah Bupati Gresik;
3. Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah yang selanjutnya disingkat Bappeda adalah Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Gresik;
4. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah yang selanjutnya disingkat DPPKAD adalah Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Gresik
5. Instansi terkait adalah Instansi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Gresik yang terkait dengan pelaksanaan pemungutan retribusi daerah
6. Satuan Kerja Perangkat Daerah Pemungut Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD Pemungut Retribusi Daerah adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah yang memberikan pelayanan dan memungut retribusi daerah dari masyarakat/wajib retribusi di kabupaten Gresik
7. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan;
8. Rencana Penerimaan Retribusi Daerah adalah jumlah penerimaan retribusi daerah yang akan dicapai dalam satu periode pada tahun anggaran tertentu;
9. Penetapan realisasi penerimaan retribusi daerah tahun sebelumnya adalah angka paling tinggi yang dicapai dalam realisasi penerimaan daerah dan telah ditetapkan pada pertanggungjawaban pelaksanaan APBD;
10. Pembinaan adalah kegiatan untuk memberikan pedoman bagi SKPD Pemungut Retribusi Daerah dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan baik administrasi maupun teknis dengan maksud agar pemungutan retribusi berdasarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing dilakukan secara benar dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
11. Pembinaan Administrasi adalah rangkaian kegiatan bersifat administratif yang diselenggarakan oleh instansi terkait dalam pelaksanaan pemungutan retribusi daerah;
12. Pembinaan Teknis adalah rangkaian kegiatan bersifat teknis yang diselenggarakan oleh SKPD dalam pelaksanaan pemungutan retribusi daerah.

Pasal 2
Pedoman pembinaan administrasi dan teknis pemungutan retribusi daerah dimaksudkan untuk memberikan arah penyelenggaraan kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan hasil pemungutan retribusi daerah agar dapat diprioritaskan untuk membiayai kegiatan bersangkutan, dengan tujuan untuk menghindari menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat dan pendapatan asli daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.





BAB II
PEMBINAAN ADMINISTRASI DAN TEKNIS PEMUNGUTAN

Pasal 3
(1) Pembinaan Administrasi Pemungutan Retribusi Daerah dapat dilakukan untuk kegiatan:
a. penyusunan kebijakan dalam pelaksanaan pemungutan retribusi daerah;
b. penyusunan perencanaan penerimaan dan sarana pemungutan retribusi daerah tingkat provinsi; c. monitoring, evaluasi penerimaan dan permasalahan retribusi daerah tingkat provinsi;
d. sosialisasi kebijakan administrasi pemungutan retribusi daerah.
e. pengembangan sistem pemungutan dan informasi dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan dan optimalisasi penerimaan retribusi daerah.
f. kegiatan pembinaan administrasi lainnya yang terkait dengan retribusi daerah.
(2) Pembinaan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh DPPKAD dan/atau instansi terkait sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing secara berkoordinasi dan dapat melibatkan SKPD yang pemungut bersangkutan.

Pasal 4
(1) Pembinaan Teknis Pemungutan Retribusi Daerah dapat dilakukan untuk kegiatan:
a. penyuluhan kepada aparat dan petugas pemungut retribusi daerah;
b. sosialisasi kebijakan teknis pemungutan retribusi daerah;
c. pemutakhiran data potensi retribusi daerah;
d. pengembangan sistem pemungutan dan informasi; dan
e. pembinaan teknis lainnya yang terkait dengan retribusi daerah.
(2) Pembinaan Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh masing-masing SKPD dengan koordinasi dengan DPPKAD dan dapat melibatkan instansi terkait.
(3) Untuk menunjang kelancaran kegiatan perencanaan penerimaan dan penyusunan kebijakan pemungutan retribusi daerah, SKPD dapat melakukan kegiatan penghitungan potensi secara berjenjang sebagai bahan perencanaan penerimaan dan menyusun bahan usulan kebijakan dalam rangka peningkatan pelayanan dan optimalisasi pemungutan retribusi daerah.

BAB III
PERENCANAAN PENYUSUNAN KEGIATAN

Pasal 5
(1) Setiap SKPD dalam rangka pemungutan retribusi daerah paling lama pada akhir bulan April tahun anggaran berjalan harus menyampaikan rencana kegiatan pembinaan administrasi dan teknis pemungutan retribusi daerah kepada DPPKAD selaku Koordinator.
(2) Rencana kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirinci menurut:
a. nama dan latar belakang kegiatan;
b. jumlah anggaran dan waktu pelaksanaan;
c. rincian dan langkah-langkah kegiatan; dan
d. tujuan, sasaran dan hasil yang diharapkan.

Pasal 6
(1) Rencana kegiatan yang telah disampaikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) selanjutnya diteliti dan dikoordinasikan lebih lanjut oleh Tim Pembinaan Administrasi dan Teknis Pemungutan Retribusi Daerah yang keanggotaannya terdiri dari instansi terkait.
(2) Hasil penelitian dan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kembali, oleh Tim kepada masing-masing Kepala SKPD yang bersangkutan dan sebagai bahan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD), dengan tembusan Bappeda dan DPPKAD.
(3) Pembentukan Tim Pembinaan Administrasi dan Teknis Pemungutan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Pasal 7
Rencana kegiatan yang telah diteliti oleh Tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dituangkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD), DPPKAD dan instansi terkait yang harus disampaikan kepada Bappeda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV
TATA CARA PELAKSANAAN KEGIATAN
Pasal 8
(1) Pelaksanaan Penyusunan kebijakan dalam pelaksanaan pemungutan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, dapat dilakukan dengan memperhatikan antara lain:
a. hasil kajian terhadap efektifitas ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. terjadi keadaan memaksa yang harus mengubah atau menyesuaikan dengan kondisi yang ada seiring dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya;
c. terbitnya peraturan perundang-undangan baru yang terkait dengan kebijakan dalam pelaksanaan pemungutan retribusi daerah.
(2) Rancangan penyusunan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh DPPKAD atau instansi terkait dalam rangka pemungutan retribusi daerah atau oleh SKPD masing-masing untuk mendapatkan persetujuan Bupati.
(3) Terhadap rancangan penyusunan kebijakan dalam pelaksanaan pemungutan retribusi daerah yang telah mendapat persetujuan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dilakukan pembahasan bersama DPPKAD, Instansi terkait dan SKPD yang berkompeten dalam menjalankan kebijakan tersebut.

Pasal 9
Pelaksanaan penyusunan perencanaan penerimaan dan sarana pemungutan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Setiap SKPD pemungut retribusi daerah paling lambat pada akhir bulan Juni tahun berjalan harus menyampaikan perhitungan potensi retribusi daerah tahun sebelumnya dan usulan rencana penerimaan retribusi daerah pada APBD Perubahan tahun berjalan.
b. DPPKAD bersama instansi terkait selanjutnya melakukan analisis data perhitungan potensi sebagaimana tersebut pada huruf a dengan membandingkan data penerimaan tahun sebelumnya dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap intensitas jasa pelayanan dan kegiatan pemberian perizinan retribusi daerah.
c. Hasil analisis sebagaimana tersebut pada huruf b, dikonfirmasikan dengan SKPD yang bersangkutan melalui rapat koordinasi.
d. Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana tersebut pada huruf c, selanjutnya dituangkan dalam Berita Acara dengan dilampiri rincian perhitungan usulan rencana penerimaan retribusi daerah.
e. Berita Acara sebagaimana tersebut pada huruf d disampaikan kepada Bupati untuk ditindaklanjuti sebagai bahan penyusunan rencana penerimaan tahun berikutnya dan usul APBD Perubahan tahun berjalan.


Pasal 10
Pelaksanaan monitoring, evaluasi penerimaan dan permasalahan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dilakukan dengan tahapan sebagai benkut :
a. Paling lambat pada tanggal 15 satu bulan sebelum pelaksanaan monitoring evaluasi penerimaan dan permasalahan retribusi daerah, SKPD pemungut retribusi daerah wajib menyampaikan data jumlah ketetapan retribusi beserta sanksi yang tercantum dalam SKRD, SKRD Jabatan, SKRD Tambahan dan STRD berikut data jumlah pembayaran serta jumlah uang yang diterima oleh Petugas Pemungut/Bendahara Penerimaan berdasarkan dokumen lain yang dipersamakan.
b. SKPD selanjutnya menyampaikan daftar inventarisasi permasalahan atau kendala dalam pemungutan retribusi daerah berdasarkan pemantauan langsung di lapangan sebagai lampiran data sebagaimana dimaksud pada huruf a.
c. SKPD secara periodik paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya memberikan data penerimaan retribusi daerah kepada DPPKAD.
d. DPPKAD bersama instansi terkait melakukan pengolahan data sebagaimana tersebut pada huruf b, sebagai bahan analisis dan evaluasi penerimaan pada tahun berjalan.
e. Monitoring, evaluasi penerimaan dan permasalahan retribusi daerah dilakukan melalui rapat koordinasi antara DPPKAD, instansi terkait dan SKPD pemungut retribusi daerah.
f. Periodesasi rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada huruf e, diatur sesuai kondisi yang ada.

Pasal 11
Pelaksanaan sosialisasi kebijakan administrasi pemungutan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d, dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Sosialisasi atas ketentuan peraturan perundang-undangan baru yang terkait dengan retribusi daerah untuk memberikan pemahaman kepada petugas atau masyarakat.
b. Narasumber untuk kegiatan sosialisasi sebagaimana tersebut pada huruf a, dapat dilakukan menggunakan pejabat di lingkungan dan/atau diluar Pemerintah Daerah sepanjang terkait dengan program kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a.
c. Melakukan koordinasi dengan SKPD dalam penyusunan materi sosialisasi.

Pasal 12
Pelaksanaan Pengembangan sistem pemungutan dan informasi dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan dan optimalisasi penerimaan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e, dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Dinas Pendapatan Daerah membangun database maupun aplikasi sistem pemungutan retribusi daerah di masing-masing SKPD untuk meningkatkan pelayanan pemungutan retribusi daerah yang sesuai dengan karakteristik jenis retribusi dalam flat form dan mengacu pada Masterplan Teknologi Informasi Pemerintahan Daerah.
b. DPPKAD melakukan pembangunan, penyesuaian sistem aplikasi dan database serta pembuatan interface (program antara) di masing-masing SKPD.

Pasal 13
Pelaksanaan pembinaan administrasi lainnya yang terkait dengan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f, dapat diselenggarakan dalam hal :
a. Mendukung terciptanya percepatan pelayanan dan optimalisasi pemungutan retribusi daerah;
b. Pembenahan sistem informasi dalam rangka pengendalian pelaksanaan pemungutan retribusi daerah;
c. Terdapat temuan dari pemeriksa sehingga perlu menyempurnakan dan/atau menerbitkan regulasi/ketentuan yang mendukung pelaksanaan pemungutan retribusi daerah; dan
d. Permintaan SKPD untuk melakukan penelitian dan pengembangan dalam, rangka standarisasi pemungutan retribusi daerah dan strategi pengamanan target retribusi daerah.

Pasal 14
Pelaksanaan penyuluhan kepada aparat dan petugas pemungut retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, dilakukan dengan cara:
a. Memberikan penyuluhan peraturan perundang-undangan kepada petugas di lingkungan SKPD atau masyarakat, khususnya pengguna jasa pelayanan yang dilakukan oleh SKPD masing-masing;
b. Materi dan tenaga penyuluh sebagaimana tersebut pada huruf a, dapat menggunakan pejabat di lingkungan dan/atau di luar Pemerintah Daerah sepanjang terkait dengan materi penyuluhan;
c. Melakukan koordinasi pelaksanaan penyuluhan sebagaimana tersebut pada huruf a dengan DPPKAD dan instansi terkait dalam rangka evaluasi dan merencanakan pengembangan metode penyuluhan.

Pasal 15
Pelaksanaan sosialisasi kebijakan teknis pemungutan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, dilakukan dengan cara:
a. Memberikan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan baru yang terkait dengan retribusi daerah untuk memberikan pemahaman kepada petugas atau masyarakat khususnya pengguna jasa pelayanan yang diberikan oleh SKPD  masing-masing;
b. Nara sumber dalam rangka sosialisasi sebagaimana tersebut pada huruf a, dapat menggunakan pejabat di lingkungan dan/atau di luar Pemerintah Daerah sepanjang terkait dengan materi sosialisasi;
c. Melakukan koordinasi dengan DPPKAD dan instansi terkait dalam menyusun materi sosialisasi.

Pasal 16
Pelaksanaan pemutakhiran data potensi retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, dilakukan dengan cara:
a. Melakukan pemutakhiran data potensi daerah yang dilakukan secara periodik setiap triwulan sesuai dengan intensitas jumlah pelayanan berdasarkan pendaftaran permohonan pelayanan dan hasil temuan di lapangan terhadap subyek retribusi yang belum tercatat sebagai potensi retribusi daerah;
b. Pemutakhiran data potensi retribusi daerah sebagaimana tersebut pada huruf a, harus dapat menunjukkan besaran angka perkiraan penerimaan untuk setiap triwulanan ke depan berdasarkan tarif retribusi yang berlaku;
c. Termasuk potensi retribusi daerah sebagaimana tersebut pada huruf a, juga terdapat pelayanan yang tidak dipungut;
d. Perhitungan terhadap hasil pemutakhiran data potensi retribusi daerah sebagaimana tersebut pada huruf a, harus dipilah secara berjenjang untuk masing-masing wilayah pemungutan mulai dari tingkat Kecamatan dan Desa
e. Hasil pemutakhiran data potensi retribusi daerah sebagaimana tersebut pada huruf a, dituangkan dalam Berita Acara dan dilaporkan kepada DPPKAD dengan tembusan instansi terkait dalam rangka penyusunan rencana penerimaan perubahan maupun penerimaan tahun berikutnya.



Pasal 17
Pelaksanaan Pengembangan sistem pemungutan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, dilakukan dengan cara:
a. SKPD dapat membangun database maupun aplikasi sistem pemungutan retribusi daerah sepanjang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pemungutan retribusi daerah yang sesuai dengan karakteristik jenis retribusi dalam flat form dengan mengacu pada Masterplan Teknologi Informasi Pemerintahan Daerah;
b. SKPD yang telah memiliki database dan aplikasi sebagaimana dimaksud huruf a, agar melakukan penyesuaian dengan sistem Teknologi Informasi Pemerintah Daerah, sedangkan terhadap sistem yang tidak dimungkinkan dilakukan penyesuaian agar membuat aplikasi antara (interface) yang merujuk kepada Master plan Teknologi Informasi Pemerintahan Daerah;
c. Untuk pembangunan, penyesuaian sistem aplikasi dan database serta pembuatan interface (program antara) sebagaimana tersebut pada huruf a dan huruf b, harus terlebih dahulu dikoordinasikan dengan DPPKAD;
d. Untuk pelaksanaan e-goverment harus memenuhi prinsip akurat, relevan, akuntabel dan transparan, maka SKPD  wajib menyampaikan data ketetapan retribusi beserta sanksinya dan jumlah pembayarannya melalui situs resmi Pemerintah Daerah paling lambat tanggal 10 setiap bulan.

Pasal 18
Pelaksanaan pembinaan teknis lainnya yang terkait dengan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, dapat dilakukan dengan cara:
a. Meningkatkan kinerja SKPD dalam pemungutan retribusi daerah;
b. Menyusun kerangka kebijakan dalam penerapan sistem informasi terkait dengan penggunaan sarana pemungutan retribusi daerah;
c. Pengendalian teknis di lapangan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi dalam rangka melaksanakan Peraturan Daerah;
d. Menindaklanjuti hasil temuan dari pemeriksa dengan mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang retribusi daerah yang kegiatannya harus dilaksanakan dalam suatu periode tertentu sehingga keterangan atau Iaporan tersebut dapat digunakan sebagai pembanding dan/atau melengkapi data yang telah ada;

BAB V
PENGENDALIAN, EVALUSI DAN PELAPORAN

Pasal 19
(1) Pengendalian terhadap Peraturan Bupati ini dilakukan oleh Kepala DPPKAD. 
(2) Terhadap pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan evaluasi setiap 6 (enam) bulan sekali atau sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.
(3 Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah.

BAB VI
PEMBIAYAAN

Pasal 20
(1) Biaya yang diperlukan untuk penyelenggaraan kegiatan pembinaan administrasi dan teknis pemungutan retribusi daerah dialokasikan berdasarkan realisasi penerimaan APBD tahun sebelumnya.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan pada anggaran belanja masing-masing SKPD, DPPKAD dan/atau instansi terkait yang dituangkan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD dengan memperhatikan efisiensi dan prioritas penggunaan anggaran.
(3) Penganggaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk kegiatan dan biaya operasional yang berkaitan dengan retribusi daerah yang diselenggarakan oleh SKPD, DPPKAD dan instansi terkait harus ditetapkan terlebih dahulu dalam Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 21
(1) Anggaran untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan retribusi daerah dapat menggunakan sebagian dari penerimaan retribusi setiap SKPD, dihitung secara proporsional berdasarkan hasil pemungutan retribusi daerah tahun sebelumnya.
(2) Biaya kegiatan yang diberikan kepada SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) di setiap SKPD yang bersangkutan.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 22
  
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bupati ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kabupaten Gresik.

Ditetapkan di Gresik
Pada tanggal   

BUPATI GRESIK
  


Dr. Ir. H. SAMBARI HALIM RADIANTO, ST., M.Si.